top of page

Summer Fling: Ananas Comosus

  • Gambar penulis: Caecilia Sherina
    Caecilia Sherina
  • 5 Des 2017
  • 6 menit membaca

Diperbarui: 3 Jan

Ketika kamu berkunjung ke Bali, kamu akan menemukan berbagai pola bergambar buah nanas mulai dari baju, sarung bantal, sarung tas, scarf untuk anjing dan kucing, hingga desain poster di mana pun! Awalnya aku tidak sadar dengan banyaknya desain nanas di Bali. Tapi setelah aku bertemu seseorang yang tergila-gila dengan nanas, aku tidak bisa tidak melihat nanas lagi. It became the number one thing I would spot on whenever it exist.



Kira-kira pagi di bulan November yang bermusim hujan, aku berada di sebuah restoran di Canggu. Di sebelahku duduk seorang pria yang mengaku tergila-gila dengan buah nanas tadi.


"Pineapple is my favorite fruit," ujarnya meyakinkanku sampai kaos hingga sandalnya pun ia pastikan senada dengan warna nanas, "Boleh saya minta lebih banyak nanas daripada buah yang lain?" Pria itu kemudian menunjuk pada menu fruit platter ke seorang server.


Setelah menunggu sesaat, pesanan kami pun datang: dua fruit platter, secangkir teh dan segelas jus melon. Semua minuman yang dipesan adalah milik si pria tadi.


"Cil, kamu nggak pesan minum?" tanya salah satu server yang sudah mengenalku. Namun aku menggeleng, "Nggak, Beli, air putih saja. Aku sudah bawa sendiri."


Hari itu cukup cerah di Canggu dan aku berencana membawa si pria nanas tadi berkeliling ke Desa Angseri, Kabupaten Tabanan. Kami ingin trekking pendek di perkebunan milik keluarga salah satu staff hotel yang kukenal baik. Aku pikir perjalanan ini bisa berarti pula untuk hotel tempatku bekerja, berhubung kami memang akan membuat program liburan ke kampung halaman para staff.


"Yuk, kita berangkat," ajaknya setelah menghabiskan segepok nanas. Aku pun mengangguk dan tersenyum kecil, merasa antusias tapi belum begitu nyaman karena baru berkenalan beberapa hari lalu.


Pikiranku melayang ke hari Jumat, hari pertama kami berkenalan, juga hari di mana staff hotel bermain sepak bola di Pantai Berawa. Biasanya aku berhalangan hadir, tapi entah kenapa hari itu aku datang, dan hari itu ia diundang meramaikan. Tanpa berpikir panjang, saat mata kami bertatapan, aku beranikan diri menyapanya duluan.


"Hai, saya Caecilia, fotografer hari ini," sapaku seenaknya, karena kupikir memperkenalkan diri sebagai fotografer lebih mudah dicerna ketimbang menjelaskan bahwa pekerjaanku adalah seorang social media manager yang mengatur dan menciptakan konten mulai dari foto, video, hingga tulisan untuk Facebook, Instagram, Twitter, Tumblr, dan seterusnya dst. dst.


"Hai, saya zzzzz," balasnya.


Aku lupa namanya. Biasalah, terlalu gugup hingga jadi tolol. Apalagi harus berbicara dalam Bahasa Inggris. Alhasil sepanjang obrolan itu aku berusaha menghindari penyebutan namanya. Maka untuk memudahkan, kita panggil saja dia Nanas.


***


"Are you ready?"


Kita kembali ke hari Minggu, sesaat sebelum perjalanan ke Desa Angseri dimulai. Mendengar pertanyaan Nanas, aku pun mengangguk, segera mengenakan jaket, helm, dan memastikan tidak ada barang yang tertinggal di restoran. Tiba-tiba Nanas menyetopku, "Apa ini?!"


"Hah?"


"Kamu serius pakai jaket ini?" sambil memicingkan matanya ke arah jaketku yang cukup panjang (selutut), mungkin biasa dipakai di musim gugur, "Aku sudah siapin semua kebutuhan kamu. Ini ada sunscreen lotion, jas hujan, ini lotion untuk wajah, sudah ada semua!"


Sepertinya Bapak Nanas ini kelewat care, dan tidak tahu kalau daerah Tabanan lumayan dingin apalagi saat musim hujan seperti ini. Tapi yasudalah, para turis asing memang suka berpakaian terbuka, dan aku tidak ingin memperpanjang perkara. Akhirnya aku titipkan jaket di kantor hotel dan pergi berkemeja putih gambar nanas, celana jeans pendek, lengkap dengan helm serta sandal jepit.


"Allons-y! Let's go!" sahutku sambil naik ke boncengan motor, sok berbahasa Prancis. Perjalanan 1 setengah jam pun dimulai dari Canggu ke Angseri. Tapi saat keluar komplek, aku baru sadar kalau aku tidak tahu alamat rumah si staff yang ingin dikunjungi.


"Wah, hahahaa.. aku baru ingat, aku lupa tanya alamat semalam!" aku yang bodoh segera mengeluarkan HP dan menelepon si staff, "Halo, Jerry! Share location rumahmu dong!"


"Apa itu share-loc, Mbak Cecil?"

"Waduh, bagi alamat, Jer, lewat WhatsApp!"

"Bagaimana caranya?"


JENG JENG! Ternyata Jerry nggak tahu caranya. Tapi setelah berhasil menjelaskan (sambil teriak-teriak di jalan), ya berhasil sih.. Sementara itu Nanas yang sibuk menyetir motor bututnya menertawakanku sampai puas. Mungkin ia tidak menyangka sebegitu tidak prepare-nya diriku.


Sekitar jam 9 pagi kami tiba di Angseri, tapi bagian antah-berantah. Google Maps nampaknya bingung mau mengarahkan kami ke mana karena jalanannya belum terstruktur baik. Aku pun menyerah mengandalkan sinyal dan bergegas menyapa ibu-ibu di seberang jalan.


"Ibu, saya mau tanya, rumah ini di mana ya?"


Dan ibu itu membalas dalam Bahasa Bali lengkap, yang mana belum semuanya bisa kupahami. Dead dead dead. Rasanya dieded to the max. Mau tanya lagi, ibu ini pasti jawab Bahasa Bali, mau tanya yang lain, tidak ada siapa-siapa selain si ibu dan 3 anak kecil malu-malu (yang mungkin juga tidak bisa Berbahasa Indonesia). Menariknya, ketiga anak ini sama-sama memperhatikan si Nanas dengan saksama. Mungkin bingung kenapa ada bule Prancis cekikikan di depan rumah mereka.


"Kenapa kamu ketawa-ketiwi?!" teriakku dari seberang jalan, sebel.


"We are lost. Hahaha..."

"I'll call Jerry to pick us up!"


Aku pun menyerah dengan si ibu dan segera mengirimkan lokasi ke Jerry, meminta dijemput. Untung sudah ada fitur share location. Jadi sangat memudahkan di saat seperti ini.


Beberapa menit kemudian, warga desa agaknya bertambah ramai untuk menonton si Nanas, dan Nanas menikmati kepopuleran dirinya di Angseri. Ia tak berhenti tersenyum dan menyapa anak-anak kecil yang melambaikan tangan padanya. Kemudian Jerry pun datang membawa temannya, dengan senyum yang hangat ia langsung menertawakanku karena nyasar. Aku agak malu, tapi ya sudahlah. Kami bergegas naik motor ke perkebunan Jerry dengan jarak sekitar 300 m dari lokasi tadi. Sambil berantem kecil dengan Nanas yang nggak bisa berhenti tertawa, aku waswas hujan besar akan turun sesaat lagi.


Dan benar saja, hujan turun saat kami melakukan trekking. Tapi perjalanan itu justru jadi menarik. Ayah Jerry memberikan kami masing-masing daun pisang sebagai payung. Sangat eksotis, seperti adegan dalam film Kikujiro no Natsu (1999). Selain itu Nanas juga mendapatkan oleh-oleh buah nanas dan pisang dari keluarga Jerry. Ia terlihat sangat senang dan membawanya riang gembira, sambil sesekali mengusili tanganku dengan daun nanas yang tajam.



"Lo mau gua dorong dari jurang?!" rasanya itu yang ingin kuteriakkan kalau bisa memaki dalam Bahasa Jakarta. Tapi karena ia tidak mengerti, maka langsung action saja. Setiap kali ia berulah, akupun tidak segan melemparinya buah atau memukul lengannya. Sampai akhirnya Nanas sendiri tidak tahan dan balas menjitak hingga mencekik. (Mungkin dalam hati Jerry, dia juga capek melihat dua orang ini tidak bisa akur sepanjang trekking.)


Ketika hujan semakin deras dan besar, kami berakhir makan siang di rumah Jerry dan keluarganya. Di sebuah saung terbuka dengan pemandangan sayur mayur, sapi dan anjing. Rasanya sejuk dan nyaman, sebuah pengalaman authentic dan natural yang kuharap tidak pernah hilang dari Bali. Aku patut bersyukur telah diterima di rumah Jerry. Selain itu, kekenyangan makan, angin dan bau hujan juga membuatku terlelap.. di bahu Nanas, dan aku tertidur berat tak peduli lagi siapa atau di mana.



"Cil, hujannya berhenti," sahut Nanas membangunkanku. Kebiasaan kalau ketiduran, aku bangunnya pasti kaget (untung nggak ngeces). Aku agak panik, mencoba mengumpulkan nyawa-nyawa yang masih beterbangan dan mempelajari what just happened. Oh ya, aku tertidur di bahunya.


"Kita bisa jalan lagi sekarang."


Meskipun masih gerimis, aku kenakan jas hujan yang sudah ia siapkan tadi pagi, pamit dan mengucapkan banyak terima kasih pada keluarga Jerry, lalu melanjutkan pencarian kitab suci ke Utara. Eh, tapi karena hujan lagi dan aku harus pulang sebelum sunset, motor pun dibelokkan ke Canggu (Barat). Perjalanan pulang mendadak lebih hening dari sebelumnya.


"Terima kasih sudah mengajakku jalan-jalan, aku menikmatinya," kata Nanas, mencoba memecah kesunyian sambil kedinginan membawa motor yang melaju kencang.

"Me too. Eh, kamu kedinginan?" Nanas menggeleng dan menjawab dengan sok cool, "Meskipun aku kedinginan, aku nggak akan bilang. Aku nggak akan pernah terlihat lemah di depanmu." Aku tersenyum, ingin tertawa dan bertanya, "Kenapa sih, Nas? Kenapaaaaaa???" Tapi akhirnya kubalas juga dengan cool, "Oh bagus, karena aku akan menertawakanmu."


"Ya, dan mungkin tambah memukuliku," timpalnya.

"Take it as a sign of my affection."

"You call this affection?!"


Dan Nanas pun tertawa terbahak-bahak, sambil perlahan menggenggam tanganku yang sama-sama kedinginan. Seharusnya jadi romantis, tapi aku malah merasa uneasy. Sambil jalan aku berpikir, sudah berapa banyak kisah cliché seperti ini terjadi di Bali? Kenalan di pantai, traveling bareng, (mungkin) jatuh cinta, lalu putus karena keduanya harus kembali ke habitat masing-masing. Aku paham, pada akhirnya pria ini harus kembali ke Prancis, dan aku dengan jalan hidupku sendiri. Mengharapkan hubungan cliché semacam ini bisa berjalan, mungkin hanyalah mimpi di kala gerimis.


"You know, I will be back. Aku akan cari pekerjaan di Asia. Aku punya bisnis juga di Bali. Kita pasti bertemu lagi. Ya kan?" Nanas menunggu jawabanku.


"Umm.. yeah, aku masih di Bali."

"Lalu apa yang membuatmu ragu? Takut aku berbohong? We'll keep in touch."


Aku tidak begitu percaya, baik dari sisinya maupun dari diriku sendiri. Aku sendiri tidak yakin bisa (let me be honest, I change my mind and feelings pretty quick!). Tapi ya siapa tahu? Kubiarkan waktu yang menjawab. Dan daripada terus negative thinking, mungkin kucoba percaya saja. We both have nothing to lose at the end.


Malam itu jadi malam terakhir kami bertemu secara langsung, ditutup dengan dinner manis dan bercandaan tidak berbobot. Aku pulang ke kosan merasa agak.. hampa. Overwhelmed too. Sedih, senang, bersyukur, bingung, semua bercampur aduk.


Sepulangnya ke Prancis, Nanas meninggalkan setengah potong buah nanasnya dari Angseri. Ia titipkan buah itu pada hotel tempatku bekerja, dan minta tolong dipotongkan untuk aku sarapan. Bayangkan ketika aku tiba di hotel, para staff langsung mencariku, "Cil, ada yang menitipkan buah nanas untukmu."


"Oh ya?"

"CIIIEEEEE!!!"


Maka sejak hari itu aku tidak bisa lagi tidak melihat buah nanas. Senang telah berkenalan dengannya. À bientôt, Mon Nanas, my summer fling!


Catatan:

Kisah ini hanya salah satu kisah manis dalam masa mudaku. Pada akhirnya kami tidak bisa menjaga hubungan itu setelah ia bolak-balik Prancis, dan kudengar ia menikah dengan seorang perawat setelah kecelakaan berat di Bali. Yang penting, selamat berbahagia, Ananas dan keluarga!

Comentarios


Category

Date

Let's connect on my social media!
  • Threads
  • Instagram
  • LinkedIn
  • YouTube
bottom of page