Saving Naru, Anjingku Part 2
- Caecilia Sherina
- 1 Mar 2016
- 8 menit membaca
Kisah sebelumnya: anjing gue (Naru) muntah darah jam 1 pagi. Gue langsung bangunin bokap gue.
TRIGGER WARNING
Kisah ini mengandung darah, child abuse, trauma dan kematian. Bahkan gue yang menulis pun nggak pernah nggak nangis setiap membaca kembali kisah ini meski 10 tahun telah berlalu.
TOK. TOK. TOK.
"Apa?" tanya bokap dengan nada lelah.
"Pap.. Naru.. Muntah darah... Bisa ke dokter sekarang nggak?" pinta gue sambil sesenggukan nangis nggak karuan.
Jam menunjukkan pukul 1.30 pagi di hari Senin (29/2). Bokap gue keluar dari kamar dan langsung cuci muka. Gue balik lagi ke kamar buat ngecekin Naru. Di sana, dia masih diam dengan darah berceceran, menatap kosong. Gue lari lagi ke bokap yang masih belum keluar dari toilet. Waktu terasa berjalan lambat sekali.
Akhirnya bokap gue keluar dari toilet dan dia tanya, "Kenapa?" Dengan banjir air mata, gue mencoba mengulang penjelasan, "Pap, Naru muntah darah. Kita ke dokter sekarang ya?"
"INI TUH MASIH PAGI. MANA ADA DOKTER YANG BUKA JAM SEGINI?!"
Gue kaget.
Lok? Kok dia marah?
Totally kaget like WTF?
Reaksi macam apa itu? Bukankah seharusnya dia langsung anterin gue ke dokter? Gue langsung jawab, "Ada, Pap, aku udah cek," dan bokap gue menjawab pula dengan tegas, "KE DOKTER BESOK. TUNGGU BESOK."
Oke, guys, kesabaran gue udah maksimal banget. Gue nggak tahan lagi.
"IYA, TUNGGU BESOK PAS ANJINGNYA UDAH MATI YA BARU BAWA KE DOKTER?!"
"KAMU BISA NGGAK DIKASIH TAU TUNGGU BESOK!"
Terus bokap balik ke kamar dan tidur dengan dinginnya. Sehingga akhirnya gue harus kreatif nyolong duit di rumah dan buru-buru pesen GrabCar. (Sumpah, gue bersyukur banget udah ada teknologi GrabCar pada saat itu.) Sementara itu, gue terus-menerus mencoba menghubungi nyokap yang masih di Dubai, kakak kedua di Taiwan, dan kakak pertama di Jakarta Barat. Sayang seribu sayang, none of them answered my phone. Gue pusing tujuh keliling. Setiap kali gue lihat muka Naru, dia kayak mau bilang, "I'm quite okay right now, just a few blood. Don't mind me but I'm actually dying."
Damn.
Never been in this kind of situation.
Jam 2.30 pagi, gue udah packing kertas buat alas, kain lap, segepok tissue, duit, dompet, minuman, dst. Gue ready buat ke Pluit pagi itu. Tiba-tiba bokap gue bangun lagi dan keluar dari kamarnya.
"Kamu mau ke mana?"
Nggak gue jawab. Biar! (Buru-buru jalan ke kamar.)
"Kamu mau ke mana?!"
Biaaarrr!!! (Tetep jalan dalam diam.)
"KAMU MAU KE MANA?! MASIH BISA DIAJAK NGOMONG NGGAK?!"
Bodoo amaaaattt!!! (Melangkah lebih cepet lagi.)
"KAMU MASIH BISA NGOMONG NGGAK!"
Gue terpojok di kamar. Akhirnya mau nggak mau gue jawab, "Ke dokter. Mau ke mana lagi?" Terus doi makin ngamuk dong, "KAMU BISA NGGAK SIH NURUT ORANG TUA?! TUNGGU BESOK. PAGI-PAGI BEGINI PESEN TAKSI? GILA KAMU YA? KALAU DIAPA-APAIN ORANG DI JALAN GIMANA?!"
"YA MAKANYA ANTERIN. MAU ANTERIN APA NGGAK?!"
"BESOK KAMU PERGI SAMA SUPIR. TUNGGU BESOK!"
"Pap, lihat itu Naru udah muntah darah. Tunggu apa lagi? Tunggu dia muntahin organnya baru dibawa ke rumah sakit?!"
"Kalau muntah darah mah dari kemarin juga Papi sudah tahu!"
Mata gue langsung membelalak.
"Apa? APA?! PAPI TAHU DAN NGGAK BILANG APA-APA?!"
"Ya bukannya nggak mau bilang, tapi... dia emang udah nggak kuat. Tunggu aja besok. Lagian kamu sih ngerawat nggak bener. Selama ini kan dia nggak apa-apa. Sejak kamu bawa ke dokter (buat perawatan jamur dan kutu), dia jadi muntah-muntah. Ini pasti gara-gara dokter itu. Obatnya nggak cocok. Sekarang kamu bawa ke rumah sakit juga palingan dikasih obat doang, terus dia muntahin lagi."
"TERUS? TERUS APA? TERUS BIARIN AJA DIA MUNTAH DARAH DI SINI SAMPAI MATI?"
"YA BUKAN BEGITU. KAMU JAWAB LAGI SEPERTI ITU PAPI TONJOK MUKAMU."
"TONJOK SINI, TONJOK SAMPAI MATI, YANG PENTING ANJING INI SAMPAI DI RUMAH SAKIT."
Akhirnya dia diam dan pergi, kembali ke kamarnya sambil banting pintu. Syukurlah, gue pikir gue bakal ditonjok ternyata enggak. Gue pun pergi naik GrabCar jam 3 pagi ke Pluit dengan HP yang udah nggak ada pulsanya. Panik, cemas, sedih. I really needed someone to hold on, but all I had was me and Naru, dan bapak pengemudi GrabCar baik hati yang mau mengangkut kami.
Bersyukur banget Naru sangat kooperatif. Meskipun udah lemes, dia masih mau jalan dan ikutin arahan gue. Dia juga nggak muntah di mobil si bapak GrabCar. Syukurlah! Setelah gue mendaftar, kami berdua naik lift ke lantai 2.

Pertama-tama Naru ditimbang, dan hasilnya 21,5 kg. Terus dia digendong ke atas meja stainless steel. Di sana ada dokter dan asistennya siap mendiagnosis. Lidahnya Naru udah nggak bisa dimasukin lagi dan berwarna kehitaman di ujung
"Anjing kamu harus dirawat inap dan diinfus. Karena dia belum bisa makan, semua obatnya akan diinjeksi. Biaya pengobatannya kira-kira sekian, kamu bersedia?" tanya si dokter dengan tenang. Muka gue sembab banget, tatapan kosong, gue inget-inget isi dompet. Tak lama kemudian gue mengangguk, "Ya, Dok, nggak apa. Saya bayar untuk 1 malam dulu."

Setelah dijelaskan lebih lanjut, dokter L memulai pemasangan infus. Ini cukup ribet gara-gara anjing gue udah 10 tahun dan dagingnya alot. Ada sekitar 6 kali si dokter cabut-pasang jarum. Poor Naru... Akhirnya infus pun terpasang dan semua obat langsung diinjeksikan. Naru nampak tenang, aman, dan damai. Dia mulai tertidur di atas kasur sementaranya.

Terus gue bersama sang asisten membawa Naru ke ruang inap anjing. Di situ dia ditempatkan dalam sebuah kandang dengan selimut putih nan cantik. Pas kita pindahin dia ke kandang sementaranya, dia bingung gitu. Tegang dikelilingi auman anjing sana-sini. Gue suruh duduk nggak mau. Akhirnya gue tonton dari luar ruangan. Si Naru pipis (mungkin buat nandain kepemilikan, dia suka gitu) dan pup. Well, pipis dan pup itu biasa aja. Yang luar biasa adalah pupnya ternyata darah kentel hitam super bau di atas selimut putih yang cantik!

Gue panik banget langsung lari masuk dan manggil dokter. Akhirnya mereka menjalankan tes virus, takut-takut doi kena Parvo atau Corona. Ternyata hasilnya negatif. Jadi dokter bilang dia bakal cek lagi besok. Kalau muntah darah lagi, dia bakal melakukan tes darah.
Setelah gue menyelesaikan pembayaran, sekitar jam 6 pagi gue jalan kaki nyari orang jual pulsa. Shit, jauh banget. Terus sambil jalan kaki, gue merenung. WHAT THE HELL IS HAPPENING HERE?! IS THIS A DREAM?! WHAT HAPPENED TO MY DOG?! Gue berasa kesepian banget. WHERE IS MY FAMILY?! But then, tiba-tiba ada bapak-bapak di jalan menyapa, "Pagi-pagi harus tetap semangat ya!" dan gue terdiam, berbalik, lalu tersenyum. Hidup harus terus berjalan.
Sampai di klinik, gue langsung naik lagi ke lantai 2 dan ENG-ING-ENG semua orang lagi pada bobo. Yaudah gue nonton Naru bentar di CCTV terus ikutan tidur sampai jam 7 pagi. Tak lama setelah itu gue pesen GrabBike dan pulang ke Manggarai. Gue pikir, lumayan, istirahat sebentar.
***
Jam 9.30 HP gue bergetar dan berbunyi. Ada telepon masuk dari nomor tidak dikenal. Jantung gue dag-dig-dug. Gue berharap bukan berita buruk yang akan gue dengar.
"Halo, selamat pagi?"
"Halo, betul dengan Mbak Ceaecilia?"
"Ya, betul."
"Kami dari Vitapet mau mengabarkan kalau Naru muntah darah lagi dan banyak sekali sampai semangkok, Mbak. Bagaimana ya apa mau tes darah?"
"Ya, tes aja, Mas. Kalau tes virus sudah dilakukan sekali lagi belum ya?"
"Sudah, Mbak dan hasilnya negatif. Ini bukan karena virus. Sementara kami tes darah dulu. Kalau Mbak bersedia, mungkin tes organ juga tapi biayanya sekitar sejutaan."
...
Sejuta. Again?
Jujur.
Dompet.
Udah.
Kosong.
TRIGGER WARNING
Kisah ini mengandung darah, child abuse, trauma dan kematian. Bahkan gue yang menulis pun nggak pernah nggak nangis setiap membaca kembali kisah ini meski 10 tahun telah berlalu.
"Gimana Mbak?" tanya si masnya.
"Tes darah dulu aja, Mas. Saya nyampe di sana 2 jam lagi."
Gue langsung manggil supir nyokap buat jemput, dan chat kakak-kakak gue yang udah pada bangun. Gue suruh mereka transfer duit saat itu juga. Beruntung respon mereka cepat.
Jam 11 siang, mobil gue dateng dan kita langsung cabs ke Pluit lagi. Karena gue bego soal jalanan, kita nyasar-nyasar dan baru nyampe jam 12.30 siang. Gue langsung ngibrit ke lantai 4 buat ngecek si Naru.
Sampai di depan kandangnya, badan gue lemes. Air mata gue netes nggak berhenti. Darah berwarna terang berceceran di mana-mana sampai ke lantai. Selimut putihnya yang cantik udah jadi busuk berbercak merah tua, dan di atas itu seekor anjing Golden Retriever terkapar bersama buster collar penuh gumpalan darah yang masih fresh. Pemandangan itu bikin gue terduduk di lantai dan gue nangis di depan kandang Naru.


Tak lama setelah itu seorang dokter muda datang menghampiri gue dengan ramahnya, "Selamat siang, saya yang tadi menelepon. Saya sudah melakukan tes darah, Mbak, dan hasilnya Naru terinfeksi bakteri."
Gue cepat-cepat berdiri dan mengusap air mata. Agak segan menangis di depan orang asing. Lalu gue pura-pura tegar dan bertanya sambil masih sesenggukan, "So is there any way to save her?"
"We'll try our best. Tapi kalau Naru masih muntah darah sebanyak ini, sepertinya it won't make it till tomorrow or the next day. Dia anemia parah, Mbak. Dia butuh transfusi darah dari anjing lain, yang ukurannya juga besar dan sehat."
Okay, I can find another dog, pikir gue.
"Tapi anjingnya harus banyak, nggak bisa cuma satu aja. Soalnya anjing kamu gede banget."
...
This started to sound impossible.
Gue cuma bisa diam membisu. Otak udah berusaha muter cari cara, tapi nggak ada solusi.

"Saya sarankan kita tes organ juga, Biayanya 700 ribu. Biar lebih tau mengenai infeksi bakterinya. Soalnya... bla bla bla." Mendadak omongan si dokter ini nggak masuk lagi ke otak gue. Pusing. Gue pusing banget. Dari tadi pagi belum makan dan sekarang harus membuat another hard decision?!
"Dok, kalau saya kasih tes organ, berapa banyak kemungkinan dia sembuh?" I know this was not a nice question and sounded pretty dumb. But I needed to know!
"We'll try our best."
Hening.
Gue berusaha berpikir keras, tapi nggak bisa. Otak gue mentok.
Anjing gue udah 10 tahun. Artinya proses pemulihan akan berjalan lebih lambat. Time is money. Biaya pengobatannya bisa membengkak sampai 7 juta dalam 1 minggu. I don't have that money. Gue juga nggak tau harus cari anjing-anjing transfusi di mana dalam waktu sesingkat ini. Anjing gue bakal mati besok, dan tes organ ini nggak bisa memastikan dia tetap hidup.
Akhirnya air mata gue tumpah sekali lagi. Kali ini benar-benar deras sampai gue kesulitan berbicara. Gue coba pelan-pelan mengucapkannya,
"Dok, suntik mati aja... nggak apa."
dan satu detik setelah gue mengatakan itu, gue nangis sejadi-jadinya karena gue merasa bersalah. Gue bilang ke Naru, "I'm sorry." Apa mau dikata. Gue lebih nggak tega lihat wajah Naru babak belur lebih lama lagi.

"Baiklah kalau begitu, kamu ikut saya ke lantai 2 ya. Ada kertas yang harus kamu tanda tangani," ujar sang dokter seraya meninggalkan ruangan. Tertinggallah gue dan Naru, bersama anjing-anjing sakit lainnya di situ. Gue menangis sampai ingus ke mana-mana.
Gue belai kepalanya dan bulunya copot semua. Lalu gue berdiri, hendak pamit pada Naru. Mendadak Naru ikut berdiri dan berjalan mendekati pintu kandang. Dia seakan pengen keluar, tapi langkahnya terhenti di depan pintu. Tali infus mengekangnya. Akhirnya dia duduk dengan wajah menjulur ke luar pintu, minta dibelai lebih lama lagi. Mungkin dia bilang, "Jangan pergi dulu. Sebentar lagi, sebentar saja. Tolong lepaskan pengikat ini."
Siang itu gue tanda-tangani surat yang menyatakan bahwa gue mengizinkan proses euthanasia. Lalu bersama sang dokter, gue saksikan sahabat gue tertidur untuk selamanya.
***
Dan lo tahu apa yang terjadi sepulang gue dari rumah sakit?
Bokap gue bilang gue adalah pembunuh.
"Anjingnya mati karena kelalaian kamu mengurusnya. Kamu pembunuhnya"
Mind you, Naru dibeliin bokap atas permintaan kakak pertama gue, sekitar 10 tahun lalu di tahun 2006 waktu gue baru mau masuk SMP. Kalian expect apa dari anak SMP? Bahkan kuliah aja gua masih pakai duit bokap + beasiswa + kerja siang-malam dan itu aja udah pas-pasan banget. Atas dasar apa, menuduh kematian anjing ini sebagai kelalaian gua seorang diri? Di mana ibu dan kedua kakak gua di saat seperti ini? Kenapa gua sendirian menanggung beban ini, ketika gua bahkan nggak menyalahkan siapapun.
Sejak hari itu, tumbuh sebuah trauma dan suatu perasaan pilu yang nggak bisa gue selesaikan hingga hari ini. Hubungan gue dan bokap pasang-surut. Gue nggak mampu membencinya, tapi juga nggak mampu mencintainya. Kosong aja gitu.
Maka sejak hari itu, gue bikin janji sama diri sendiri:
Gue bakal treat hewan lebih baik. Nggak boleh ada kisah Naru kedua.
Gua nggak boleh miskin sampai ngutang sana-sini. Waktu itu gue sempet ngutangin Raynard juga lantaran duit gua habis buat biaya kremasi Naru.
Gua harus berdaya, supaya gua bisa mengandalkan diri sendiri.
Janji itu gue pegang sampai hari ini. Terima kasih dan maafin gue ya, Nar. Semoga bahagia di surga.
コメント