Saving Naru, Anjingku Part 1
- Caecilia Sherina
- 1 Mar 2016
- 3 menit membaca
Setelah melewati sidang akhir dan gue dinyatakan lulus sebagai Sarjana Seni, gue pun pulang ke Tangerang untuk menjenguk anjing gue yang katanya sakit. Katanya, beberapa hari terakhir ini, Naru memuntahkan semua makanan yang diberikan.
TRIGGER WARNING
Kisah ini mengandung darah, child abuse, trauma dan kematian. Bahkan gue yang menulis pun nggak pernah nggak nangis setiap membaca kembali kisah ini meski 10 tahun telah berlalu.

Nah, pas gue pulang, gue lihat anjing gue (namanya Naru) tampak lesu. Super lesu. Dieeemm aja duduk ngeliatin gue. Nggak ada kibasan ekor maupun gonggongan khas. Matanya merah membengkak sampai kayak mau copot. Beleknya sejuta menjijikkan. Mulutnya terlihat agak membengkak dan bau muntahan. Bulunya rontok semua begitu disentuh. Lebih ngerinya lagi, I saw few red bumps di perut dia. Gue pencet-pencet, kok keras kayak daging.
"Jangan-jangan tumor," kata gue ke bokap yang duduk tak jauh dari Naru.
"Nggaklah, nggak tumor. Mungkin alergi aja sama obat kulit yang kamu kasih kemaren-maren." Tapi gue tetep ngotot dalam hati, "Ini pasti tumor, or something even worse. Nggak lucu ah alergi sama obat sampe segininya."
Sejak beberapa bulan terakhir gue emang lagi ngebasmi jamur dan kutu (tick) dari kulitnya. Awalnya sih oke-oke aja. Lama-kelamaan jadi muntah-muntah, ya gue stoplah itu obat. Tapi dia terus muntah. Gue ganti dog food dengan nasi, dia tetep muntahin juga. Fix to the max gue harus ke rumah sakit.
"Halo, Ries, rumah sakit hewan ada di mana aja ya?" tanya gue pada seorang kawan.
"Ke Vitapet aja, 24 jam di Pluit."
Terus gue galau gitu. Gue tanya ke bokap, "Pap, bawa sekarang aja gimana? Ada RS 24 jam." Tapi bokap gue bilang, "Besok ajalah. Yang penting dia masih mau makan deh."
Hmmm... Well pada hari itu Sabtu (27/2) si Naru masih mau makan dan mendadak bisa berdiri ngibasin ekor buat deketin gue. Jadi gue pikir, "Things are gonna be fine! Besok aja deh ke rumah sakit." Malam itu, karena gue capek bersihin muntahannya, gue suruh Naru tidur di luar kamar.
Minggu (28/2), gue bangun pagi dan bilang ke bokap, "Pap, yuk ke dokter."
"Emang ada rumah sakit buka hari Minggu? Tunggu ajalah Senen."
"Ya ada laaah..."
"Di mana?"
"Di Sunter."
"APA?! JAUH BANGET. Besok aja deh kamu sama supir pergi ke sana. Lagipula mana ada sih rumah sakit yang buka hari Minggu."
"Ada, Pap. Udah dicek."
"Besok aja. Yang penting Naru masih mau makan. Kamu jangan kasih obatnya lagi. Itu pasti sakit gara-gara obat yang kemaren."
Anjir, udah dibilangin kalau gue sudah stop obat itu dari lama, masih juga ngeyel. Naik pitam gue ngadepin doi. Akhirnya gue rawat Naru seadanya. Minggu siang, dia masih makan dan muntahin makanannya lagi. Gue mulai browsing how to treat your dog dan semua website mengatakan SEGERA BAWA KE DOKTER.
Minggu malam, bokap gue terlihat ngelapin lantai. Dia bilang ke gue, "Si Naru muntah lagi. Kamu masih ngasih dia obatnya ya?!" (For fucksake enggak!) Tapi gue diem aja, karena percuma ngomong apapun nggak bakal didengeri, jadi gue langsung ikut bersihin lantai. Malas berdebat lagi.
Tapi jujur, malam itu feeling gue nggak enak. Mata anjing gue jeleeeekkk banget. Dia lihatin muka gue memelas, kayak mau bilang, "I'm dying." Jadi gue bilang ke Naru, "Please, sabar, besok gue bawa lo ke dokter. Janji." Gue giring Naru ke kamar dan gue selimutin doi. Lalu gue matikan lampu dan tidur.
Beberapa menit kemudian, Naru terdengar mau muntah lagi. Gue langsung bangun dan nyalain lampu. Gue tungguin. Dia liatin gue. Dia nggak jadi muntah. Gue elus palanya, lalu gue matiin lampu.
Nggak lama, Naru bangun lagi. Gue tontonin dalam kegelapan. Dia ternyata berjalan mendekati gue, tidur persis di samping kasur gue. Ini kejadian pertama kali banget. Biasanya Naru nggak pernah mau tidur terlalu dekat. Dia selalu tidur di pojok, nggak pernah di deket gue.
Feeling gue makin nggak enak. Tapi gue coba untuk tidur.
Jam 1 pagi, Naru bangun dan berjalan ke cermin. Dia mengeluarkan suara lembut seperti mengaing. Lembut banget dengan nada penuh kesedihan. Gue bangun dan nyalain lampu. Gue tanya, "Kamu kenapa, Nar?"
Dia tatap mata gue dari pantulan cermin. Terus dia berbalik dan badannya berkontraksi. Persis seperti tanda dia mau muntah selama ini. Gue nggak tau harus ngapain dulu, dan tiba-tiba Naru muntahin darah banyak banget. Darahnya kentel merah tua dengan beberapa lendir kekuningan. Gue shock dan langsung nangis dong. Gua lari ambil lap, kertas, tissue, ember, air, apapun. Gue nggak tau mesti ngapain dulu: peluk dulu, bersihin dulu, atau langsung ke dokter. GUE NGGAK TAU HARUS NGAPAIN.
Ujung-ujungnya gue bersihin dulu. Terus gue suruh Naru tiduran karena dia tegang banget. Dia kayak takut dimarahin habis ngotorin kamar, tapi dia nggak punya kekuatan buat kabur. Dia cuma tatap gue seadanya, pasrah kalau harus digampar (padahal ya nggak mungkin gue gampar lah ya).
Sambil nangis-nangis gue paksa dia tiduran, terus gue bersihin muntahan yang banyak banget itu. Bersihinnya lama sampe gue nyerah. Akhirnya gue buru-buru ambil HP dan cari alamat Vitapet Clinic, terus lari ke kamar bokap.
Bersambung.
Comments