Review Acara INAFEd: Flash Back
- Caecilia Sherina
- 28 Mar 2015
- 2 menit membaca
INAFEd (Indonesian Film Editors) adalah sebuah asosiasi editor film Indonesia yang pada hari Jumat, 27 Maret lalu mengadakan sebuah diskusi mengenai teknologi editing film dari masa ke masa. Acara ini diberi judul Flash Back, dan berlokasi di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki pada pukul 7 malam dengan narasumbernya, para editor Indonesia: George Kamarullah, Norman Benny, Sentot Sahid, Sastha Sunu, Dewi S. Alibasah, Andhy Pulung, dan Ryan Purwoko. Sayangnya malam itu George Kamarullah dan Dewi S. Alibasah berhalangan untuk hadir, sehingga diskusi semi-formal yang dimoderatori oleh Cesa David Lukmansyah pun berlangsung hanya bersama 5 editor saja.

Diskusi dibuka dengan pengantar sejarah editing singkat dari Norman Benny, selaku editor paling senior di antara kelimanya. Ia telah memulai karir sejak tahun 80an, di mana pada masa itu film Indonesia masih hitam-putih. Kemudian secara bergilir, perkembangan teknologi editing ini dilanjutkan melalui cerita Sentot Sahid, Sastha Sunu, Andhy Pulung, dan diakhiri oleh Ryan Purwoko yang telah memasuki era digital secara keseluruhan.
Di antara diskusi tersebut, di belakang para narasumber juga disediakan sebuah layar besar untuk menampilkan foto-foto mesin editing dan pemutaran film dokumentasi pendek buatan Dwi Koencoro yang berjudul Old School Movie Editing (1987). Sehingga percakapan mengenai teknologi masa lalu ini menjadi lebih jelas di benak penonton, yang pada umumnya belum pernah menyentuh alat editing analog. Mendekati akhir acara, Cesa memberikan pertanyaan kepada para narasumbernya, “Apa yang perlu dipersiapkan saat mengedit baik secara mental maupun raga?” dan pertanyaan itu pun disambut dengan penuh senyuman dari narasumber.
“Persiapan sama, dari jaman masih hitam-putih hingga sekarang. Bagaimana cara melihat materi lapangan, membaca shot dari lapangan, editorial thinking, semuanya sama, kecuali saat era penggunaan dubbing system, agak kacau,” jawab Norman Benny menjelaskan bahwa pada saat dubbing system, editor mengedit film tanpa suara. Sehingga sangat susah untuk menentukan titik potong yang tepat dengan dialog yang diucapkan di gambar. Pekerjaan ini tentu dibantu oleh pencatat skrip yang bertugas mencatat dialog-dialog saat syuting berlangsung. Celakanya, seringkali pencatat skrip kehilangan beberapa kata karena improvisasi aktor yang terlalu banyak.
“Dari dulu, musuh editor adalah pencatat skrip,” tambah Sentot Sahid dengan gelak tawa.
“Bahkan sampai sekarang pun masih, Mas. Mungkin perlu kita adakan acara rekonsiliasi?” canda Cesa David, dan para peserta diskusi pun semakin terbalut dalam tawa meski malam semakin larut.

Kembali ke topik, Sentot Sahid menambahkan bahwa pada zaman dulu, selain harus memanjangkan kuku jempol agar dapat dengan mudah mengupas selotip dari ujung seluloid yang ditempel ke ujung lainnya, juga perlu siap menerima kenyataan bahwa tangan seorang editor tidak akan pernah halus.
“Di luar negeri, seharusnya pakai sarung tangan agar tidak terbeset pinggiran seluloid yang dalam kecepatan tinggi jadi seperti pisau. Tapi karena kita mau cepat, jadi ya saya langsung pegang pakai tangan, jadi sering sekali berdarah di mana-mana,” ujar Sastha Sunu diiringi tepuk tangan para peserta diskusi.
Pada akhirnya, diskusi ini ditutup dengan kesimpulan dari Sastha mengenai perkembangan teknologi yang semakin pesat, “Semua teknologi memiliki fungsi yang sama, yakni memudahkan kita dan membuat kita nyaman bekerja. Tapi, sayangnya rentan membuat kita kurang disiplin, dan rentan dalam pengarsipan. Coba kalau film disimpan dalam external hard disk saja? Kena air sedikit, data corrupted. Kalau dalam seluloid kan kena air, ya tinggal dikeringin dengan hati-hati. Jadi menurut saya, teknologi analog dan seluloid film tetap penting dipertahankan, selain sebagai pilihan dalam film style, juga terutama untuk pengarsipan.”
Comments