Kukira ini "Akhirnya"
- Caecilia Sherina
- 25 Des 2024
- 15 menit membaca
Diperbarui: 9 Apr
Satu tahun berlalu sejak tragedi aku gagal menikah, dan nggak lama di bulan Agustus 2024, aku.. pacaran lagi???
Eh? Loh? Kok cepat banget ya?
Baru putus dan hancur, kok udah pacaran lagi?
Baik, mari saya jelaskan. 😂
Pertama-tama harus aku akui bahwa aku membuat kesalahan. Dan kesalahannya adalah: belum menyelesaikan luka dalam diri. Pada waktu itu, aku sebenarnya masih hancur, dan luka yang terparah adalah trauma "ditinggalkan" oleh orang yang aku sayang. Fear of abandonment bahasa kerennya.
Luka ini bukan sembarang luka dan bukan sekadar perih di dada, tapi juga merusak jalan pikirku, di mana ketika ada orang ✨baik ✨sedikiiittt aja sama aku, aku jadi langsung baper dan jatuh cinta. Aku, pada saat itu, benar-benar sedang merasa kesepian karena merasa 'ditinggalkan' oleh mantan yang selingkuh. Dan yang lebih gawat lagi adalah, aku bertemu seorang yang juga kesepian dan pas banget kita mengawali pertemuan pertama dengan love bombing.
Mari kita sebut namanya Pak Ed.
Kenapa “Pak”?
Karena dia 9 tahun lebih tua dari aku. Lumayan, kan? Bayangin aja, pas dia kelas 1 SMA, aku baru belajar nyanyi Balonku Ada Lima di sekolah dasar.
Jujur aja, aku nggak pernah terbayang untuk pacaran sama orang yang beda usianya sejauh itu. Karena seringkali yang lebih tua merasa si paling tau segalanya. Ujung-ujungnya aku jadi males, karena jadi enggak setara. Dan kalau perasaannya kayak gitu, aku nggak akan bisa melihat orang yang lebih tua sebagai pacar. Jadinya ya kayak ngelihat "bapak-bapak" aja gitu.
Nah, bareng Pak Ed, awalnya terasa begitu berbeda.
Kisah manis kami berkembang dari obrolan santai soal majalah dan keberangkatanku ke Jerman. Waktu itu dia nanya, "Why leaving so soon?" dan aku jawab, "Karena sudah muak dengan kebusukan Kota Jakarta," dan pada waktu itu memang, alasan terbesarku pergi: untuk meninggalkan sepenggal masa laluku yang kelam.
Kebetulan waktu itu aku sedang promosi majalah Wonderwhy—majalah yang kubantu-garap bersama tim hebat dari Unithree. Aku sedang super excited membahas majalah ini ke semua relasiku, termasuk pada Pak Ed.
Syukur pada Allah, Pak Ed menyampaikan ketertarikan untuk membeli, terlepas dari alasannya beli karena suka majalahnya atau karena suka sama akunya, yang penting buku ini laku, pikirku. ☺️
Kemudian kami janjian bertemu hari Sabtu di Bar Between the Sips dengan niatku untuk membawakan majalah tersebut. Tapi ternyata surprise! Pak Ed sudah beli dari Tokopedia langsung, jadi aku nggak perlu lagi bawa bukunya. (Suka deh, bapak-bapak gercep kayak gini 😂). Jika kalian juga tertarik beli, silakan klik link Tokopedianya ya.
Sabtu itu, aku tiba tepat waktu seperti biasa, tanpa ekspektasi apa-apa. Karena majalahnya sudah ia beli sebelumnya, niatku cuma pengen minum santai dan ngobrol seadanya setelah sekian lama jadi anak rumahan di rumah orang tua. Tapi ternyata, rencana awal berubah karena Pak Ed kena macet plus kecelakaan kecil di jalan. Ia mengabari kalau bakal telat. Alhasil, mampuslah aku sendirian di bar yang masih sepi!
Tapi ya sudahlah, aku nggak terlalu peduli. Aku memang datang tanpa ekspektasi, dan kebetulan lagi bosan banget di rumah. Jadi aku coba nikmati saja momen me time itu.
Untungnya, bartender di Bar BTS ramah banget! Dia ngajak ngobrol sambil ngejelasin proses bikin minuman-minuman eksperimental mereka. Ada banyak koktail unik di bar ini, dan semuanya bikin aku penasaran. Rasanya seperti pengalaman baru yang seru banget. Sembari asik dengerin si bartender, tiba-tiba Pak Ed muncul, dengan kaos dan celana pendek, terburu-buru masuk sambil tertawa.
Dia langsung menyapa bartender dan staf lainnya, bercerita soal pengalaman absurdnya dengan taksi online yang baru saja menyerempet mobil orang. Aku sempat heran, karena dia nggak cuma fokus ke aku, tapi juga kayak ngajak semua orang di bar buat dengerin kisahnya. Dari situ aku nebak, apa mungkin dia tamu reguler di sini? Atau mungkin memang pembawaannya gampang akrab sama orang?

Setelah selesai menyapa para staf, Pak Ed akhirnya duduk di sampingku. Dengan senyum lebar dia bilang, "Maaf ya lama, kamu jadi nunggu sendirian di sini, bosen ya?" Sementara aku cuma senyum sambil jawab santai, "Enggak kok, aku tadi asik ngobrol sama bartender soal mesin destilasi di sini." Dia langsung menoleh ke bartender dan nyeletuk, "Wah, curang banget, lu nggak pernah jelasin soal mesin itu ke gue!"
Bartendernya tertawa renyah, dan akhirnya obrolan kami bertiga ngalir dengan seru. Dari situ aku baru tahu kalau Pak Ed pernah jadi fotografer buat interior Bar BTS saat baru awal dibuka. Pantas aja dia akrab sama staf di sana. Dan hasil fotonya? Bagus. Aku sih suka.
Yang awalnya kupikir cuma bakal minum 1-2 gelas, ngobrol sebentar, terus pulang. Eh, ternyata obrolan kami ngalir terus sampai nggak kerasa udah subuh. Selama itu pula, aku udah minum 4 gelas koktail plus 2 shots tanpa merasa mabuk sama sekali. Bayangin, 7 jam ngobrol nonstop! Dan kita berdua bener-bener sober, bisa ngobrolin apapun dari yang remeh sampai rumit. Jarang-jarang aku bisa seperti itu, karena biasanya.. aku pasti tipsy dan ngantuk. Atau mungkin ini akibat terlalu lama kesepian?
Anyway, malam itu hampir nggak ada momen canggung atau momen kehabisan obrolan. Semua mengalir dengan natural. Kami saling menimpali dan tertawa tiada henti. Wow, pikirku, sudah lama aku tidak merasakan ini. Ed juga sepertinya tidak menyangka obrolan kami berdua akan seseru itu. Atau mungkin mood-nya sedang bagus?
Ada satu hal menarik lagi yang perlu kamu ketahui dari pertemuan malam itu: sebenarnya aku belum tau usia Pak Ed yang ternyata terpaut jauh banget sama aku. Waktu itu, aku sama sekali nggak kepikiran buat nanya umur, karena suasana ngobrol kami terlalu asik. Dan, judging dari penampilannya yang kasual, aku kira dia masih berumur 32 tahun.
Sampai akhirnya, di tengah-tengah obrolan, aku merasa sudah terlalu sotoy dengan banyaknya saran yang kuberikan pada Ed. Akhirnya aku beranikan diri bertanya, "Kamu kelahiran tahun '90 kan?"
"Hahaha... Jauh banget." Ed tertawa terbahak-bahak, "Kamu kira aku umur berapa?"
"Loh, bukannya Ed masih 32 tahun?"
"Aku lahir '85. Aku udah 39 tahun."
"HAH? Serius???"
Ed tertawa terpingkal-pingkal.
"Maaf banget, aku sok tahu. Yawla, daritadi aku ngobrolnya sok akrab banget pula. Maaf ya kalau kurang ajar. Malu banget!!!" 😭 Wajahku memerah, agak malu tapi sudah terlanjur, "Jadi aku panggil kamu 'Pak atau 'Kak ini?"
"Panggil Om sekalian!"
Sejak itulah nama Ed menjadi 'Pak Ed', dan bukan om—soalnya aku juga jijik manggil dia om. Dan jika kalian tidak sengaja bertemu dengan orangnya langsung, kalian juga pasti tidak akan menyangka bahwa usianya sekarang sudah 40 tahun. Wajah dan gaya berpakaiannya tidak menunjukkan perangai bapak-bapak sama sekali. Tapi nanti jika kalian bicara, dan melihat bagaimana ia berpikir dan bersikap, kalian akan sadar bahwa Pak Ed memang sudah bapak-bapak, apalagi kalau dia mulai mengeluh sakit pinggang. 😭
"Kamu kedinginan ya? Mau keluar dulu aja?" tanya Ed padaku.
Kulihat, Ed sangat perhatian selama kami ngobrol, khas bapak-bapak. Dia peka ketika aku terus-menerus menggosok tanganku karena kedinginan. (Maklum, malam itu aku naik ojek online dan sempat kehujanan. Jadi sepatuku agak basah dan aku jadi nggak kuat sama AC bar yang dingin banget.) Berkali-kali ia menawarkan keluar, tapi kutolak karena sungkan. Setelah berjam-jam kedinginan, akhirnya diriku tergerak juga diajak.
"Ngobrol di luar yuk? Tinggalin aja minumannya, nggak apa," kata Ed seraya memanggil bartender, "Eh, bro, gue keluar dulu ya. Minumannya gua tinggal!"
Di luar bar, udara Jakarta malam itu terasa panas dan lembap. Jalanan masih cukup padat. Aku mulai tergelitik ingin tahu lebih jauh tentang kehidupan Ed. Lucunya, Pak Ed justru bertanya, "Boleh aku cerita dari aku lahir?"
"Dari lahir banget nih?"
"Iya dong, aku pengen kamu denger kisah lengkapnya."
At that point, mungkin Ed sudah setengah mabuk. Soalnya kalau sekarang ditanya lagi kenapa dia ngomong begitu, dia pasti bakal ngakak sambil bilang, "Iya juga ya, kenapa aku tanya gitu? Buat apa coba? Bikin malu aja."
Tapi malam itu, aku biarkan saja Ed yang setengah mabuk bercerita lengkap tentang kehidupannya—dari lahir sampai hari di mana dia ngobrol denganku di BTS. Ceritanya panjang, penuh lika-liku. Dari sana, aku jadi mengerti bahwa Ed pun telah melalui banyak tragedi yang membentuknya menjadi ‘Ed’ yang aku lihat hari ini. Dan aku senang ia bisa menceritakan itu dengan gembira riang di pinggir parkiran, sebelum akhirnya aku harus pamit karena malam sudah terlalu larut (sudah jam 2 pagi, bro, bisa dibunuh nyokap gue kalau nggak pulang).
Dan lagi-lagi Pak Ed membuat hatiku luluh hanya dengan sentuhan kecil lewat kata-kata yang manis, "Maaf ya mobil aku masih di bengkel. Aku anterin kamu pulang naik taksi online aja ya."
"Hah? Gimana, Pak? Gimana itu konsepnya?" Aku seneng banget mendengar beliau berkenan mengantar pulang, tapi masalahnya rumahku jauh banget dan itu akan membuat Ed bolak-balik wasting time & money di jam sesubuh ini. Padahal besok kita semua punya kegiatan masing-masing, kan?
"Jangan nolak ya. Ini udah subuh, jam 2 pagi. Rumahmu jauh pula, makin nggak tenang aku biarin kamu pulang sendiri."
"Aku lebih nggak tenang lagi kamu ikut aku, kamu jadi tau rumahku di mana." >> Caecilia being sober.
"Yaudah kamu yang pesen taksi onlinenya. Turunin aku sebelum nyampe rumahmu juga nggak apa, yang penting udah deket biar aman."
WOW. Gila nggak tuh 'bapack-bapack' vibe-nya? 😂 Benar-benar sosok pelindung bertanggung jawab yang selama ini kucari (di orang yang salah). Oh Tuhan, terima kasih sudah mempertemukanku dengan Pak Ed, pikirku waktu itu. Akhirnya memang aku pulang ditemenin dia dan kita NONSTOP ngobrol sepanjang jalan sampai aku nyampe di rumah, sampai bosen kali tuh driver dengerin kita ngoceh.
🔶🔶🔶
Wahai pembaca budiman, ceritanya belum selesai sampai di sini, izinkan aku menjelaskan lebih jauh tentang kekagumanku pada pria ini yang meskipun pada akhirnya, hubungan kami tak berlangsung lama.
Kisah kami berdua kemudian berlanjut dengan penuh warna, dan tentu saja drama. Berhubung Ed tahu aku akan segera terbang ke Jerman dan waktu kami hanya tersisa satu bulan. Ed, kemudian berusaha mempercepat banyak hal yang normalnya terjadi dalam kurun waktu 1 tahun. Dia langsung mengenalkanku pada sahabat-sahabat dekatnya, orang tuanya, adiknya, termasuk bikin sejuta rencana jalan-jalan mulai dari Bandung, Bogor, Surabaya, hingga Bali. Meskipun, tentu saja, nggak semuanya berhasil terlaksana karena ada saja halang-rintang yang terjadi di tengah jalan.

Saat itu, keluargaku mulai menegur dan mengkritik keputusanku untuk dekat dengan Ed. Katanya terlalu cepat, dan mereka khawatir hal ini bisa mengganggu kuliahku di Jerman. Di sisi lain, mantanku kembali menghantui dengan segala drama stalking, spamming, dll. Tidak hanya itu, tiba-tiba muncul nomor asing yang mengirimkan pesan misterius, memperingatkanku untuk berhati-hati dengan Ed, karena katanya, orangnya tidak sesuai dengan apa yang kita lihat.
Bayangin aja, aku baru akrab sama Ed beberapa minggu, eh tiba-tiba dapat pesan misterius yang nyuruh aku waspada. Gimana enggak panik coba? Gimana kalau ternyata dia... nggak lebih baik dari mantanku yang kemarin? Atau jangan-jangan pesan itu muncul dari mantanku? Tapi kok dia kenal Ed? Makin membingungkanlah drama sinetron ini.
Aku coba telepon nomor asing itu, tapi dia menolak jawab. Aku chat dan tanya dia ini siapa, tapi jawabannya nggak jelas. Dia bilang kurang lebih, "Cuma mau nolongin sesama, Sis. Ed itu 🐍 (ular)," dan kemudian nomorku diblokir.
Berasa 'sinetron' banget nggak tuh? Pak Ed sendiri tidak bisa menerka sosok tersebut. Tapi di hadapan sahabat-sahabat (dan business partner) Pak Ed, mereka bilang ke aku untuk, "Tenang aja, Cil. Seumur-umur gue temenan sama Ed dari zaman kuliah, Ed orang paling baik yang selalu mendahulukan orang lain dibanding dirinya sendiri. Jangan percaya sama chat nggak jelas kayak gitu. Banyak orang freak di luar sana. Dulu mantan gue sama mantan suami gue juga freak kok, bahkan sampai berani chat bos kantor supaya kami dipecat."
Setelah mendengar kisah lengkap sahabatnya Ed yang di-stalk sama mantan sampai PARAH banget, aku dan Ed cuma bisa senyum. Ternyata cerita kami berdua nggak ada apa-apanya dibandingkan mereka. Hehe...
Tapi tetap aja, sejak saat itu, tiap kali aku keluar rumah, rasanya jadi was-was sendiri. Takut diikutin sama mantanku (soalnya dia seringkali chat dan ngasih tau lokasiku) dan juga takut Ed bukanlah orang yang tepat untukku. Dan karena aku tambah parno, aku mulai ganti semua password, mengurangi jejak di WhatsApp, dan rajin cek satu per satu software di HP, laptop, dan semua perangkat elektronik lainnya.
Dikarenakan terlalu banyaknya drama yang terjadi selama 1 bulan sebelum aku berangkat ke Jerman, akhirnya aku dan Ed bicara cukup panjang dan serius mengenai hubungan kita. Waktu itu, aku sampai pada satu keputusan bahwa aku nggak siap untuk berkomitmen dengannya. Aku berharap Ed bisa mengerti posisiku, bahwa aku baru saja lepas dari hubungan yang penuh kekonyolan, dan aku nggak mau jatuh ke lubang yang sama.
Jadi, aku bilang dengan tegas kalau saat itu kami hanya bisa berteman saja—sampai suatu hari nanti, ketika aku benar-benar tahu apa yang aku mau. Dan enggak ada yang bisa garansi aku bakal jatuh cinta sepenuhnya sama Ed. Jadi aku mempersilakan dia untuk mundur. Aku tetap tidak mau memberikan kepastian di tengah hidupku yang penuh dengan ketidakpastian.
"I want to believe that you are a kind person, and I think you deserve someone kind. Seseorang yang sudah selesai dengan masa lalunya, dan itu bukan aku."
Itu kata-kata yang berkali-kali kusampaikan pada Pak Ed. Tentunya ucapanku—sesopan apapun aku berusaha, tetap terdengar menyakitkan untuk orang yang sedang memperjuangkanku. Berkali-kali kami menangis di telepon maupun saat bertemu. Gimana yah? Aku berharap Ed nyerah aja, tapi dia nggak mau mundur. Aku juga bingung, masak harus aku jahatin dulu, biar dia mundur?
Posisiku sebenarnya sudah tidak ada rasa untuk mantan, hanya saja hidupku saat itu masih rumit dan berantakan. Aku belum siap berkomitmen lagi, apalagi Pak Ed sudah masuk ke pembahasan pernikahan. Karena ini jadi rumit sekali, makanya aku terima bahwa kesalahan terbesar ada padaku. Salahku membahas Jerman, majalah Wonderwhy dan menemui Ed malam itu.
Namun tentu saja, semesta punya caranya sendiri untuk memberi warna. Terlepas dari siapa yang salah, hubungan kami lanjut semakin erat dan jadi pacar, hingga ke Jerman.
🔶🔶🔶
Tulisan ini awalnya kuposting beberapa bulan lalu, saat hubungan kami sedang hangat-hangatnya. Dan ada beberapa bagian yang ingin kupertahankan sebagai bahan refleksi, karena ternyata.. ending-nya menyakitkan. Ini tulisanku yang asli saat itu:
"Beliau benar-benar.. orang baik. Nggak minta aku bikin keputusan apapun atau do anything specifically. Jujur aja, aku sempat takut. Takut jika hubungan ini kuladeni, aku jadi nggak fokus kuliah, nggak berteman, dan kembali ke siklus yang sama di mana aku akan sangat bergantung pada pacar, clingy, lalu perlahan cowoknya mulai bosan, sibuk, aku mulai merasa kesepian, dan kemudian si cowok mundur perlahan tapi tidak memberikan kepastian.
Aku pikir hubunganku dengan Ed akan sama seperti masa laluku.
Tapi ternyata, enggak.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku dewasa bersama dengan orang yang juga sudah dewasa. Rasanya seperti 'setara'. Hubungan kami tidak lagi meledak-ledak seperti anak remaja. Tidak ada cerita cemburu-cemburu konyol, ataupun perdebatan yang tidak ada ujung. Berbeda pendapat itu pasti, tapi semuanya bisa disampaikan dengan lembut dan penuh akal sehat.
Ed bahkan sering mendorongku untuk keluar dari kamar, "Main gih sama temen-temen kamu. Aku senang setiap kali kamu keluar kamar, pasti kamu bawa pulang cerita seru." Dan ya, benar saja, saat aku pulang, Ed sudah standby untuk mendengarkan kisah-kisah tololku. Berbanding terbalik dengan yang biasanya aku alami, di mana mantanku juga bisa bersikap seolah-olah suportif—mendorongku keluar—meski sebenarnya ia hanya ingin sendirian. Padahal, dia juga bisa jujur dan aku nggak masalah dengan itu; tapi entah kenapa banyak orang memang lebih nyaman berbohong atas dalih, "Ini semua aku lakukan demi kamu!"
Atau kadang pula kebalikannya. Aku dibuat merasa bersalah ketika aku harus sibuk bekerja. Ucapan klasik mantan-mantan seperti ini biasanya, "Kamu sibuk terus, giliran aku mau main sama temen malah dilarang!" 😅 Haha... Aku paling sebel sama orang yang hobi nge-twist alias gaslighting. Padahal jelas-jelas dia yang bikin perkara. Ini contoh hubungan tidak sehat: sengaja cari celah buat nyalahin pasangan, alih-alih cari solusi di tengah.
Untungnya Pak Ed, berbeda.
Dia nggak pernah bikin aku merasa kesepian, sekalipun kita berbeda timezone 6 jam antara Jerman dan Indonesia. Dia nggak marah-marah kalau aku bilang aku nggak bisa janjian tanggal xx karena kuliah dan kerjaanku masih seabrek. Demikian pula denganku. Kalau Pak Ed sibuk, ya udah nggak apa. Kalau Pak Ed mendadak ada urusan, ya yaudah nggak apa.
Life happens every second. Nggak masuk akal maksain orang untuk available 24/7. Ngobrol aja lah kalau ada apa-apa. Hidup jujur tuh enak banget sebenernya.
Ketika kedua pasangan bisa saling jujur dengan nyaman, dan tanpa ada rasa takut, hubungannya jadi sehat banget. BTW, jujur itu bukan berarti kasar mengeluarkan semua yang kita pikirkan lewat mulut. Kita bisa kok jujur tapi tetap sopan dan tidak menghina orang lain. Atur kata yang baik, bicara pelan dan lembut, sampaikan pemikiran dengan etika.
Untungnya dengan Pak Ed, bisa."
Saat baru berpisah dari Ed, aku enggak sanggup membaca tulisanku sendiri. Karena semua yang aku tulis di atas, nyatanya berubah. Ed, ternyata sama saja dengan mantan yang aku ceritakan.
Setelah kurang lebih 3 bulan menjalani Long-Distance-Relationship (LDR), Ed perlahan berubah. Mulai marah karena aku enggak punya waktu untuk kita berdua, padahal setiap hari kita chatting + video call, dan aku sudah bilang berkali-kali aku sedang burn out menjalani kuliah-kerja. Tapi tetap saja aku yang salah dan dia lash out kemarahannya sesuka hati.
Yang kukira segala hal bisa dibicarakan baik-baik, nyatanya enggak bisa. Setiap kali aku minta evaluasi hubungan, Ed butuh waktu menyendiri dulu dan kemudian akan kembali dengan solusi menurut dia sendiri. Tidak ada diskusi. Dia jalanin semau dia sendiri, yang bahkan dia enggak tahu dia bisa jalanin atau enggak. Pada akhirnya ada banyak janji yang tidak bisa ia tepati.
Yang tadinya sangat perhatian, selalu ada di saat aku butuh, seperti misalnya awal-awal kami LDR, ketika aku masih sering menangisi mantanku malam-malam. (Bukan karena masih cinta, tapi karena masih terasa sakit hati dikhianati orang yang tadinya aku percaya akan menjadi suami sampai mati.) Pak Ed—yang sedang tertidur di sleep call karena perbedaan timezone tadi, bisa bangun dan langsung tanya, "Kamu kenapa?" padahal suara nangis aku pelan banget. Tapi sekarang? Hmm... Boro-boro deh.

Pertengkaran yang awalnya remeh soal aku sibuk enggak bisa kencan, mulai membesar dan melebar ke masalah lain. Sialnya, waktu itu Pak Ed sudah beli tiket ke Jerman untuk menghabiskan libur musim dingin bersamaku selama 29 hari.
Perjalanan yang aku pikir, mungkin, bisa menjadi obat atas hubungan LDR kami, ternyata jadi mimpi buruk. Persiapan visa Ed saja sudah menguras energiku, lantaran orangnya sibuk terus, enggak tau kenapa dan ada apa. Diajak bikin itinerary kayak ogah-ogahan. Padahal ini kan liburan? Kok enggak bahagia merencanakan kencan bersama pacar yang sudah lama tidak ia lihat secara langsung?
Saat itu aku mulai merasa kesepian dan tidak dihargai lagi. Sama ketika aku bersama mantanku. Aku memberikan usaha luar biasa, menata perjalanan Jerman ini sedemikian rupa agar biayanya efektif, enggak kemahalan, dan enggak terlalu padat sampai bikin capek. Aku hapalkan semua kebiasaan dan kesukaan Pak Ed, dan itinerary perjalanan ini benar-benar aku buat untuk membuatnya senang. Aku atur tempat-tempat yang dia suka, bahkan tanpa memikirkan diriku sendiri mau apa.
Tahu balasan dia apa?
"Eh, sorry aku enggak bisa banyak nolong urusan visa."
Lah? Nolong? Yang punya visa siapa ya? Ibarat kata lu yang punya hajatan, lu minta tolong gue bantu organisir vendor, tempat, catering, dll. dan yaudah gue bantuin dengan tulus, terus tiba-tiba lu ngomong, "Sorry, enggak bisa bantu banyak." Lah gimana? Gua jadi bingung yang punya hajatan lu apa gua?
Waktu itu aku bilang langsung ke dia saking kesalnya, "Ed, ini visa kamu loh. Ini kamu yang mau ke Jerman, bukan aku. Kenapa jadi seolah-olah aku yang punya urusan dan kamu nolongin aku? Jangan dibolak-balik dong. Aku yang nolongin kamu biar urusan visa kamu lancar tanpa masalah." Aku berharap dia akan mengerti dan berubah, tapi nyatanya enggak sih. Hehe...
Waktu itu aku pikir, karena Ed yang mengeluarkan uang paling banyak, mungkin aku enggak berhak meminta lebih. Ikuti saja yang dia mau. Jadi yaudahlah, yang bikin dia senang, juga akan membuatku senang. Demikian janjiku pada diriku, saat itu, yang kupegang teguh hingga akhir kepulangannya ke Indonesia di bulan Maret silam.
Dan kalian mau tahu kenapa hubungan kami akhirnya kandas?
🥹🥹🥹
Gongnya terjadi saat Ed akhirnya tiba di Jerman. Setelah semua perjuanganku membantu mengurus visa sampai enggak tidur dan kuliah+kerjaan jadi agak terganggu, Ed muncul di hadapanku biasa-biasa saja. Matanya berbinar melihat Jerman, bukan melihatku. Dia bawa bunga dari Jakarta hingga ke Jerman, dan yang dia pusingin lebih ke bunganya yang layu ketimbang senyumku. Dia pusing bagaimana cara menyimpan bunga itu agar tidak pernah mati, alih-alih fokus pada pacarnya yang sudah lama tidak ia nikmati(?) Hari demi hari di Jerman kulalui dengan bersabar, menantikan ia menepati janji-janji untuk diskusi yang tertunda saat masih LDR, tapi Ed nampak lebih sibuk bernostalgia, mengenang masa lalunya saat kuliah di luar negeri, ketimbang menikmati 'hari ini' dan bicara denganku.
Pikirannya ke mana-mana dan ucapanku tak lagi berarti. Sekadar menyarankan naik bus yang mana pun berubah menjadi kompetisi, padahal Ed tahu betul bahwa aku yang warga lokal di sini. Tapi buat Ed, entahlah, seperti sebuah penghinaan jika aku selangkah lebih maju daripadanya. Bahkan ketika aku menegurnya tentang cara memilah sampah (yang lagi-lagi ia masih salah), Ed balik menyerang dan ngambek.
Ed—yang entah kenapa tidak lagi semanis dan seperhatian saat di Bar BTS—berubah menjadi sosok yang paling aku takutkan. Aku enggak bisa lagi lihat Ed sebagai sosok bapak-bapak usia 39 menuju 40 tahun. Di depan mataku, dia kayak anak SMA yang baru pertama kali pacaran dengan ego setinggi langit.
Malam itu aku sudah enggak tahan. Dan Ed being Ed, tentu tidak paham atau mungkin menolak paham. Lama akhirnya baru kusadari bahwa Ed juga sama seperti mantanku, insecure dan avoidant. Entah apa yang membuatnya insecure padaku, atau mungkin tidak ada urusannya denganku. Pokoknya, malam itu akhirnya aku beranikan untuk speak up. Berharap Ed akan menanggapi seperti dulu, ketika ia masih sayang padaku.
Nyatanya enggak. Ed—sama seperti mantanku—mereka berdua berhenti mencintaiku ketika sudah berhasil 'mendapatkanku'. Atau mungkin memang tidak pernah mencintaiku sebagai aku. Mungkin selama ini yang mereka cintai adalah fantasi akan Caecil yang mereka ciptakan sendiri. Entahlah, hanya mereka yang tahu.
Yang pasti, perjalanan kami jadi anyep, dan sialnya, masih harus dijalani.
Pada suatu waktu ketika kami akhirnya kembali ke kosan, aku sudah enggak tahan banget dan sontak menangis. Menangis sejadi-jadinya. Menangis kembali mengingat rasa sakit ditinggalkan.
Kamu tahu, 'ditinggalkan' tidak harus diartikan secara harfiah. Seperti silent treatment, tapi tidak sepenuhnya silent. Misalnya mereka mau membicarakan hal yang menyenangkan, tapi shut down ketika kamu membahas rasa sakit hatimu. Mereka pura-pura bodoh ketika kamu berusaha menanyakan alasan mereka menjahatimu. Buatku, itu pun serasa 'ditinggalkan'.
Dan kamu tahu apa yang Ed lakukan ketika ia melihatku menangis setelah sekian lama berusaha tegar tanpa air mata? Ini yang dia katakan:
"Aku rasa kamu butuh waktu sendiri," lalu dia berdiri dan pergi.
Itu adalah hal yang paling menyakitkan, yang juga (kurang lebih) dilakukan oleh mantanku, yang juga sudah berkali-kali kuceritakan pada Ed, berharap ia mau mengerti, betapa menyanyatnya kata-kata itu untukku. Betapa aku benci, ketika ada pasangan yang sedang bersedih, lalu kita memutuskan untuk pergi meninggalkan.
Padahal sebaliknya, ketika ia menangis, sekesal apapun hatiku, sesakit apapun kata-katanya melukaiku, aku tetap hadir dan memeluknya, menenangkannya hingga ia berhenti menangis. Tak pernah kutinggalkan orang ini sedemikian buruknya.
Akhirnya, karena perasaan kesalku sudah tak terbendung lagi, keluarlah kata-kata kasar, "Enggak sekalian pulang ke Indonesia, Ed? Ngapain kamu masih ada di sini? Aku sudah enggak butuh lihat wajahmu lagi. Jangan nanggung-nanggung kalau mau pergi."
🔶🔶🔶
Kamu tahu, lama untukku menyadari bahwa orang yang insecure dan avoidant adalah kombo yang paling menakutkan. Bayangkan saja, mereka mengaku cinta, tapi juga takut pada cinta. Otak mereka shut down di saat mereka merasa terdesak. Alih-alih menjadi pasangan yang penyayang, tubuh mereka reflek ingin kabur dan lari sejauh mungkin dengan cara apapun. Dan semua itu terjadi tanpa perlu berpikir panjang.
Kita diam, mereka diam.
Kita bicara, mereka tertekan.
Kita marah, mereka melawan.
Kita nangis, mereka lari.
Bagiku, aku sudah memberikan Ed dan mantanku ratusan kesempatan untuk bicara baik-baik, yang sayangnya selalu ditampik dan diabaikan. Jadi kalau akhirnya aku pun frustasi dan emosi, tidakkah itu merupakan reaksi yang sangat manusiawi? Kalau mereka tidak suka aku marah-marah, ya selesaikan dong masalahnya dari awal, dari saat masalah ini masih kecil dan masih bisa dibicarakan baik-baik. Kenapa dari kemarin diam saja, lalu sekarang balik menyalahkan emosiku yang manusiawi? 😅
Gara-gara alur komunikasi insecure-avoidant ini yang hobi deflect dan gaslight, masalah sepele tentang perlakuan buruk mereka jadi (seolah-olah) rumit dan menjadi salahku juga. Akhirnya yang dibahas malah 'kesalahanku' yang mereka buat-buat sendiri.
Sementara 'kesalahan' mereka gimana?
Ya kita puter-puterin aja tanpa pernah beneran disentuh.
Pada akhirnya at some point, aku usir Pak Ed beneran dari kosanku secara baik-baik dan kita putus. Aku memutuskan untuk tetap jadi orang baik yang menghargai kedatangannya ke Jerman. Tapi sialnya, kebaikanku dianggap sebagai = everything is fine.
So I had to draw a clear line.
Terpaksa, orang ini aku blokir.
Percuma hubungan kayak gini dilanjutkan. 🥹
コメント