Keluarga Milenial
- Caecilia Sherina
- 8 Agu 2017
- 3 menit membaca
Ketika istilah 'milenial' semakin negatif lewat bertambahnya artikel yang mendeskripsikan generasi ini sebagai generasi serba instan, terburu-buru, dan mudah menyerah. Mungkin aku perlu bersyukur karena kritikan yang masuk pada diriku hanyalah, "Kamu keras kepala! (Dan terlalu keras bekerja!)"
Yup, aku tidak merasa masuk dalam deskripsi milenial, meskipun secara kategori umur cocok. Hal yang membanggakan ini, kurasa berawal dari pola asuh orang tuaku yang luar biasa.
1. "Tidak ada kata 'tidak bisa' dalam kamus keluarga kita."
Selama aku sekolah, aku sering merasa tidak percaya diri, dan ibuku pasti marah mendengarnya. Serius, ibuku galak banget. Dia pasti akan meyakinkanku bahwa dalam keluarga kami, tidak pernah ada kegagalan. Dan aku yang masih kecil saat itu terbeli oleh ceramahnya.
Ketika aku sudah dewasa, aku sadar bahwa sebenarnya saudara dari keluarga besarku banyak yang gagal. Tapi cara ibuku memotivasi anaknya tetap bagus juga.
2. "Lebih baik banyak memberi daripada banyak menerima."
Aku tahu persis betapa lelahnya ayah dan ibu bekerja untuk membiayai keluarga kami, membiayai keluarga saudara lainnya, dan membiayai orang tua mereka. Namun siapa sangka, bukan kebaikan yang mereka terima, malah kemalangan dan kesengsaraan yang didapat.
Kalau aku perlu jujur, saudaraku banyak sekali yang sengaja menghancurkan bisnis keluargaku, menghancurkan mental orang tuaku, hingga mencuri cincin pernikahan mereka. Jadi aku sangat salut karena sampai hari ini mereka tetap baik, dan tetap memberi tanpa pamrih (pada orang-orang itu).
Hal itu pun aku terapkan dalam hidupku, dan rupanya memang lebih damai banyak memberi daripada menerima.
3. "Jangan membuat celah untuk dihina."
Aku paling benci kalau ayah-ibuku mulai marah hanya karena satu kesalahan kecil yang aku benar-benar tidak sengaja lakukan. Kemarahan mereka juga berlebihan, seakan-akan aku tidak pernah berbuat benar. Jadi aku tanya kenapa marah seperti itu, ternyata respon ibuku mengejutkan.
"Tidak akan ada yang peduli dengan kebaikan yang sudah kamu lakukan, kalau satu hal kecil saja kamu salah kerjakan. Jadi kalau kamu ingin pujian, jangan membuat celah untuk dihina."
Waktu aku kecil, aku cuma fokus di kalimat, "Tidak ada yang peduli dengan kebaikanmu," dan aku menangis sejadinya. Tapi mulai hari itu, aku lebih berhati-hati. Dan kurasa itu pula yang perlu kita lakukan: hati-hati dalam berkata dan bersikap. Karena nila setitik, bisa rusak susu sebelanga.
4. "Kita bukan orang kaya, tapi kita tidak mental miskin."
Mental orang miskin menurut ibuku adalah istilah yang merujuk pada sifat minder (tidak percaya diri), meminta-minta (mengemis), dan norak saat melihat barang mahal.
Waktu SMA, aku bersekolah di sekolah internasional. Waktu itu aku nggak sangka kalau lingkungan sekolah ini akan sangat-sangat-sangat berbeda. Semua temanku tajirnya tajir mampus. Kalau dulu di SMP aku masih masuk golongan anak tajir. Sekarang di SMA, aku masuk golongan ekonomi rendah.
Aku kaget dan nggak paham dengan dunia mereka. Obrolan kita berbeda. Kebiasaan kita jauh berbeda. Aku pulang-pergi ke sekolah naik angkot, sementara temanku PP naik mobil mewah dan ada yang nggak pernah naik angkot (aku bangga telah memperkenalkannya pada transportasi publik).
Aku cerita ke ayahku kalau aku hopeless dengan pergaulanku, susah untuk berteman, dan aku rasa kedua orang tuaku mengerti apa yang aku hadapi. Pelan-pelan mereka mengupayakan pegawai kantor untuk mengantarku ke sekolah naik mobil. Butut dan sering rusak mobilnya, tapi lebih baik daripada angkot. Pelan-pelan, mereka juga mengupayakanku untuk bisa membeli pakaian yang lebih mahal.
Dan mereka selalu memastikanku untuk tidak pernah malu akan diriku sendiri.
Ya, aku sering pulang naik angkot; ya, aku beli seragam sekolah di Carrefour; ya, handphone-ku Blackberry Gemini bekas pakai ayahku. Secara materi aku kalah telak; tapi secara pengalaman hidup, mungkin lebih berwarna daripada mereka.
5. "Kerja jangan setengah-setengah dan jangan digampang-gampangin."
Dan ini adalah pesan terakhir yang paling sering aku gunakan dalam situasi apapun. Tidak peduli seberapa lelahnya, menyebalkannya, seberapa kecilnya dan seberapa lamanya, hindari menyepelekan pekerjaan dan selalu berikan yang maksimal. Because it's okay, it might takes time, but it will come with a reward. Ketika kita mengerjakan sesuatu dengan baik, maka hasilnya akan baik dan orang yang menerimanya niscaya akan berbuat baik lagi di kemudian hari.

Terima kasih, Mami dan Papi!
(Aku menitikkan air mata sambil menuliskan post ini.)
We used to live a difficult life. Tapi sekarang aku dan kakak-kakakku sudah bekerja, kita semua sudah mampu membalas kebaikan papi-mami meski sedikit demi sedikit. Mami sudah pensiun, sudah tinggal hepi-hepi nonton Uttaran, dan papi menikmati masa kerjanya dengan less pressure.
Dari kelima nilai yang diajarkan orang tuaku, sebenarnya ada benang merah yang menarik, yakni hidup adalah p e r d j o e a n g a n . Lima hal di atas mengajarkanku untuk menjadi pejuang yang disiplin, percaya diri, tangguh, dan bertanggung jawab; bahwa segala sesuatu yang kuinginkan membutuhkan waktu, kerja keras serta kerja cerdas; dan aku menolak disamakan dengan deskripsi milenial yang negatif.
Jadi sudahkah kamu menjadi milenial yang baik? Nilai apa saja yang kamu pegang sebagai prinsip hidup? Share your thoughts on comments!
Special thanks to Tante Jasthi for making me realized about my family. You are also my family.
Comments