(Jujur-jujuran) Rasanya Kerja Jadi Video Editor
- Caecilia Sherina
- 11 Mei 2017
- 3 menit membaca
Diperbarui: 22 Jun 2024
Jadi video editor itu menurutku...

1. Beresiko sakit mata, punggung, lambung, dan kepala
Kebanyakan melihat komputer dengan brightness 100% dan kebanyakan duduk memang tidak baik, apalagi ditambah kopi, gorengan, ciki-ciki, dan jadwal tidur yang berantakan. Saat senggang harusnya dimanfaatkan untuk istirahat atau berolah raga, tapi berhubung sudah capek (dan malas) jadi lebih banyak dipakai untuk nonton film, merokok, atau.. 9gagging. Alhasil, penyakitan deh.
2. Beresiko terlihat 'aneh'
Berhubung video editor dituntut untuk kreatif dan imajinatif, kadang kalau mengedit bisa ngomong sendiri atau teriak-teriak menciptakan suara ledakan, telepon, dll. demi membuat film editannya terlihat lebih real.
Selain itu, kebanyakan dari video editor kerja dalam kelompok yang kecil, atau bahkan sendirian. Jadi jangan heran juga kalau dia agak 'berbeda' saat diajak ngobrol. Maklum, kurang terbiasa bersosialisasi. (Meskipun ada sih yang tetap luwes ngobrol dengan siapapun.)
3. Makan banyak waktu
Berharap memiliki pola hidup teratur dan sehat? Jangan harap itu terjadi. Biasanya editor bekerja di saat yang lain istirahat, dan istirahat di saat yang lain bekerja. Sulit untuk menyelipkan 2 jam ke gym dengan tubuh hampir remuk. Apalagi punya satu hari yang cukup untuk kerja, gym, dan quality time dengan keluarga serta pacar. Itu adalah mimpi yang... hampir tak mungkin terjadi.
Seorang editor idealnya hanya bisa memilih salah satu varian:
kerja dan quality time untuk diri sendiri,
kerja dan quality time untuk pacar/sahabat, atau
kerja dan quality time untuk keluarga.
4. Butuh kesabaran tinggi
Mulai dari komputer ngadat, hang, crash; klien yang nggak paham dengan apa yang mereka inginkan; revisi nggak habis-habis; dikejar deadline; sampai software yang mendadak ketahuan bajakan; seorang video editor dituntut untuk selalu tegar dan tenang karena hidup adalah p e r j u a n g a n.
5. Susah cari pacar
(Yang ini gue setengah bercanda.) Tapi kalau dipikir-pikir memang pelik cari pacar lantaran para editor ini suka sok sibuk dan 'aneh', dan yang suka sama orang 'aneh' itu sedikit.

Pengalaman di atas kutulis selama aku mengabdi sebagai video editor di The Organism Post-Production Studio. Aku sangat bersyukur bisa diizinkan ikut mengerjakan film Chrisye (2017), film layar lebar pertamaku; di mana aku membantu sebagai asisten editor. Hari pertama kudapatkan materi, tugasku adalah sinkronisasi gambar dengan suara, lalu mengeditnya per scene.
Hari demi hari kulalui bersama (materi) Chrisye. Scene demi scene kuedit, kususun, dan kupresentasikan pada senior editor untuk ditinjau kembali. Kadang ia memuji, namun lebih banyak mengkritik hasil editingku yang masih terlalu kaku dan tidak sesuai dengan materi.
Kira-kira 14 hari lamanya kupersiapkan semua scene, yang memakan waktu sekitar 10 jam per hari. Setelah itu, mulailah senior editor menyatukan dan merapikan kembali editingku. Proses penyatuan ini memakan waktu sekitar 7-10 hari.
Di atas aku dan senior, masih ada yang lebih senior lagi, atau bahkan sesepuh karena kepiawaiannya yang luar biasa. Begitu kami selesai menyatukan segalanya, sesi editing pun dilanjutkan bersama editor sesepuh dan memakan waktu berbulan-bulan. Proses ini lebih panjang, karena di titik ini, film mulai ditinjau kembali oleh semua pihak—tidak hanya filmmaker, tapi juga keluarga besar Chrisye. Dan di titik ini, para editor terus berpikir kreatif, mencari cara agar film dapat menyampaikan pesan dengan efektif, dalam durasi yang diinginkan, dan membuat emosi penonton bergejolak di momen yang tepat.

Satu hal yang ingin kusampaikan dari pengalaman ini, aku sadar bahwa rupanya..
...
Uhuk uhuk...
Aku tidak sebegitu cintanya menjadi film editor.
Sungguh, aku tidak tahan duduk berjam-jam menghadapi layar MacPro, setiap hari, setiap pagi, bahkan saat akhir pekan. Aku merasa bersalah mengatakan ini, tapi sepertinya video editing (khususnya film layar lebar) bukanlah passion-ku.
But don't take me wrong, aku masih mencintai film.
Umurku juga masih 23 tahun. Ini bukan akhir dari segalanya. Banyak orang meyakini umur ini sebagai fase yang wajar untuk meragukan dan meneguhkan jati diri. Mungkin ini hanya kepenatan sementara, atau mungkin memang bukan ini bidang yang sesuai dengan kepribadianku.
Pada akhirnya, aku tetap mensyukuri apa yang telah kupilih dan kujalani. Suatu kehormatan tersendiri telah diajak dan dipercaya dalam project ini. Aku ingin mengucapkan terima kasih kepada para senior editor yang telah bersabar membimbing dan memberikan banyak ilmu, termasuk memasok camilan free-flow yang luar biasa.
Kami semua berharap film ini diterima serta disukai para penonton dari yang tua hingga muda, dan dari yang tidak kenal Chrisye hingga yang paling mengenalnya. Selamat menikmati.
コメント