JENESYS 2.0: Homestay di Desa Aoki (Day 6 of 9)
- Caecilia Sherina
- 9 Mei 2014
- 5 menit membaca
Diperbarui: 25 Jan
Setelah sarapan nasi, ikan salmon, telur, dll. kami memindahkan semua barang ke bus karena malam ini akan homestay di Desa Aoki. Paginya kami mengunjungi kantor walikota terlebih dahulu. Menurut saya kantor walikota di sini sangat modern, bersih, rapi dan cantik. Meskipun kotanya masih tradisional dan pekerjaan utama di sini adalah bercocok tanam, namun gedung walikotanya tidak kumuh dan terasa seperti di kota besar. Walikota mengaku telah menghabiskan JPY 1,5 milyar untuk membangun gedung modern tersebut.

Walikota Aoki juga menceritakan sedikit mengenai Desa Aoki dan strategi pengembangannya. Desa ini memiliki populasi yang sedikit dan didominasi oleh orang tua, sehingga pemerintah daerah harus menjaga penduduknya dari transmigrasi. Caranya adalah setiap warga yang ingin bersekolah ke jenjang SMA, akan dibiayai bila bersekolah di desa terdekat. Sebab di Desa Aoki hanya ada satu gedung SD dan SMP. Bila warga bersekolah di luar prefektur, maka pemerintah tidak akan memberikan biaya tunjangan. Hal ini rupanya efektif sehingga penduduk desa tidak begitu berkurang.
Lagi-lagi saya menemukan bahwa seni rupa sangat diperhatikan di Negara Jepang. Di setiap desa, pasti memiliki logo dan logo ini akan dibuatkan karakter kartun yang lucu untuk dijual sebagai souvenir. Bagi saya ini adalah ide yang cerdas untuk meningkatkan ekonomi daerah. Logo mereka formal, tapi ketika dijadikan tokoh kartun, mereka membuat tokoh kartun yang imut agar anak-anak mau membelinya dan memberikan kesan ramah serta menyenangkan. Di Desa Aoki, logo desanya berbentuk hiragana A, dan tokoh kartunnya bernama Aoki no ko yang berarti “Anak Aoki”. Berbeda sekali dengan Indonesia, yang desain produk tradisionalnya selalu bergaya mistis dan menyeramkan.


Walikota Aoki menerima kami dengan ramah dan mempersilakan kami untuk berkeliling melihat-lihat ruangan. Kemudian kami pun pamit dan pergi ke tempat tujuan berikutnya. Perusahaan Hioki E.E. merupakan perusahaan pembuat alat pengukur elektrik. Pabriknya besar dan sedang diperluas. Di sebelah pabrik terdapat lapangan baseball yang boleh dipakai warga sekitar. Perusahaan Hioki sengaja membuat lapangan tersebut agar terjalin hubungan baik antara warga dan perusahaan.
Berkeliling di Gedung Hioki terasa agak membosankan karena desainnya minimalis dan monoton. Semua pekerjaan di sini memiliki peraturan yang tegas dan tidak boleh dilanggar karena dapat membahayakan keselamatan serta kualitas produk Hioki. Meskipun peraturannya ketat, namun pemilik perusahaan sangat ramah karena selalu membuka pintu kantornya lebar-lebar. Ia ingin hubungan staf dan kepala perusahaan terjalin dengan baik dan sehat.
Kemudian kami berpindah tempat lagi ke Michi no Eki Aoki. Di sana kami belajar membuat mochi dari beras ketan. Kami harus menumbuknya sambil berteriak “Yosoi!” agar lebih bersemangat. Berat palu kayu yang digunakan untuk menumbuk mencapai 20 kg. Setelah puas menumbuk, kami mencicipi mochi yang sudah jadi. Ada mochi rasa kacang merah dan kacang tanah, rasanya manis sekali.


Lalu kami berpindah ke Bunka Kaikan, gedung serbaguna untuk olahraga. Di sana kami berkenalan dengan murid-murid SMP Desa Aoki yang mahir memainkan kendang Gimin Taiko. Mereka menabuh kendang-kendang itu dengan penuh semangat sambil melakukan tarian yang kompak. Mulut kami tidak bisa berhenti menganga ketika menonton pertunjukan itu. Suatu performance yang sangat indah dan mengesankan. Kabarnya tim ini sudah sering memenangkan perlombaan taiko nasional.
Setelah mulut menganga menonton, kini giliran kami menampilkan performance. Kami merasa malu karena tidak dapat memberikan penampilan yang sespektakuler anak-anak SMP tadi. Kami sedih kenapa pihak kedutaan Jepang di Indonesia tidak mempertemukan kami dulu di Jakarta untuk menentukan performance bersama. Pemberitahuan kami harus menampilkan pertunjukan seni begitu mendadak dan kami tidak siap melakukan hal yang spektakuler. Ditambah waktu latihan yang tidak disediakan sama sekali, sehingga kami harus berlatih di sela-sela perjalanan naik bus.



Tetapi tak apa, kami tetap tampil dengan gembira. Setelah itu mereka pun bertepuk tangan dan kini kami diajarkan menabuh taiko dengan tangan sendiri. Ternyata tidak mudah. Keringat pun bercucuran dan kami segera melepaskan jaket. Udara Nagano yang dingin tidak lagi menyakiti kami, justru malah terasa panas karena menari sambil menabuh taiko menguras energi besar. Saya jadi terpikir dengan alat-alat musik Indonesia, kenapa ya tidak terasa menyenangkan seperti taiko? Mungkin saya perlu mempelajarinya lebih dalam agar dapat menemukan jawaban-jawaban itu.
Tak lama kemudian, sensei (guru) kami tertawa dan memuji permainan kami yang semakin membaik, dan menutup acara taiko dengan foto bersama. Kemudian tibalah para host family yang siap menjemput kami.

Setiap host family akan mengurus tiga hingga empat anak Indonesia selama satu malam. Di hari sebelumnya, kami sudah diberitahu akan bertemu dengan keluarga yang seperti apa. Kebetulan keluarga angkat saya sudah sangat tua. Umur mereka 75 tahun ke atas dan mereka sudah pensiun bekerja sebagai petani. Keluarganya sederhana, rumahnya kecil, sempit dan berantakan. Halaman rumahnya penuh dengan tanaman bonsai, bunga daisy, dan jamur-jamur kecil. Mobilnya ada tiga: pick-up, sedan, dan saya tidak tahu namanya. Keluarga angkat saya bermarga Horiuchi. Saya memanggil sepasang kakek dan nenek ini dengan sebutan Okaa-san dan Otou-san (ibu dan ayah).
Kami naik mobil sedan dari Bunka Kaikan ke rumahnya. Letaknya dekat. Sesampainya di rumah, kami berkenalan lebih jauh dan mulai kehabisan topik. Meskipun sudah dibekali buku Salam Dalam Bahasa Jepang, tetap saja mengobrol dalam Bahasa Jepang tidaklah mudah. Beruntung saya sudah pernah les Bahasa Jepang di Jakarta selama 6 bulan, jadi masih mengerti beberapa yang mereka bicarakan. Keadaan kemudian diperparah dengan kedua pasangan ini yang tidak bisa Bahasa Inggris, sehingga kami bertiga lebih banyak menggunakan Bahasa Jepang a la kadarnya serta gerakan-gerakan bodoh.
Tiba-tiba koordinator homestay dari Desa Aoki datang mengunjungi rumah kami. Mereka mengobrol sebentar, minum teh hijau dan makan senbei. Mereka asyik berbicara Bahasa Jepang, berusaha memastikan hubungan kami dan keluarga baik-baik saja, sementara kami planga-plongo mendengar mereka. Fukase-san, koordinator kami pun mengartikan ke dalam Bahasa Indonesia. Beberapa saat kemudian, mereka pamit dan ayah angkat kami mengajak berkeliling ke taman Taishiyama. Kami ditemani cucunya yang bernama Toshinori, masih duduk di bangku SMA di desa sebelah.


Taishiyama no koen terletak di atas bukit dan dari situ kami bisa melihat pemandangan seluruh Desa Aoki. Di taman ini terdapat satu kuburan warga, dan di sekelilingnya pula kita bisa melihat gunung-gunung bersalju, dan pohon-pohon tandus bekas musim salju yang baru saja berakhir di bulan April. Di sekitar tanah-tanah itu juga masih tertinggal bertumpuk-tumpuk salju. Beberapa area bukit berupa hutan dan dipagari, dengan alasan agar hewan liar tidak masuk ke desa dan merusak tanaman.
Sepulangnya dari taman, ayah angkat kami menunjukkan apel hasil panen yang dia simpan di gudang. Kami pun segera mandi untuk makan malam. Makan malam kami hari itu luar biasa banyaknya. Semuanya mengandung karbohidrat dan rasanya sangat mengenyangkan. Minuman yang disuguhkan pun unik, Ginger Ale. Rasanya seperti Sprite – bukan minuman favorit saya. Kami makan bersama Toshinori dan ibunya juga. Saya jadi tidak heran melihat mereka bertubuh besar, makannya saja keterlaluan banyaknya. Saya sempat berpikir mungkin karena ada anak Indonesia, makanya makanannya jadi banyak. Tapi setelah saya perhatikan, semua orang menghabiskan makanannya dengan lahap dan mereka bilang mereka memang makan sebanyak itu setiap hari.


Seusai makan malam, kami bertiga bermaksud membantu ibu membereskan piring. Namun beliau menolak, dan kami memaksa pun tetap ditolak. Ibu malah menyuguhi kami buah apel dan komik. Saya pun tertarik membaca komik itu. Rupanya film-film kartun Studio Ghibli di-screen capture dan dijadikan komik lengkap dengan balon kata. Naskah di filmnya persis dengan naskah di komik. Komiknya juga full color persis seperti filmnya.
Sementara saya membaca, teman-teman saya menonton televisi dengan ayah angkat. Saya melihat bahwa di Jepang, seorang istri bekerja sangat keras untuk melayani suaminya, persis seperti tradisi orang Jawa. Seorang istrilah yang sibuk memasak, mencuci piring, mencuci baju, merawat anak, mengambilkan minum untuk tamu, dan membereskan rumah. Benar-benar seperti pelayan. Seorang istri tidak sopan apabila meminta suaminya mengambilkan, misalnya sekadar remote TV, sebab istri harus melayani suami. Saya dengar tradisi ini masih berlaku meskipun di kota besar, namun mungkin lebih kental di desa-desa terpencil seperti Aoki ini.
Sambil menonton televisi dan menyantap apel segar, ibu angkat kami datang membawa sehelai kain kimono. Ia bermaksud memakaikannya ke kami bertiga secara bergilir. Satu-persatu dari kami pun dipasangkannya kimono dan difoto dengan pocket camera. Ibu angkat sampai keringatan karena mengenakan dan melepaskan kimono itu rumit sekali.



Kira-kira pukul 10 malam, kami super mengantuk dan memutuskan untuk tidur. Besok kami harus bangun pagi lagi untuk pergi ke Kota Azumino. Ibu angkat kami sudah menyiapkan futon dan kami meminta maaf sekali lagi karena tidak membantunya. Beliau bilang tidak apa, ia memang tidak ingin merepotkan kami bertiga. Akhirnya kami pun mengucapkan, “Oyasumi,” dan tidur dengan nyenyak.
댓글