top of page

Jadi Aktris di "Pink Jungle"

  • Gambar penulis: Caecilia Sherina
    Caecilia Sherina
  • 15 Jul 2018
  • 8 menit membaca

"Lo bisa akting?"


Seorang pria berkacamata oranye dengan nama Viktor terlihat antusias menatap wajahku, membuatku gugup dan bingung karena tentu saja jawabannya adalah, "Nggak bisa."


Tapi ia malah tersenyum dan mengangguk. "Oke, sip!" katanya, "Gue malah nggak suka dengan orang yang mengaku aktor, tapi nggak bisa akting. Ngomong-ngomong, peran lo di sini gampang kok."


Aku bertambah bingung, tapi akhirnya kuiyakan juga tawaran itu. "Hmm.. gue jadi aktor?" Yah, kenapa nggak? Lagipula dalam festival film CinemadaMare ini, lebih penting bersenang-senang daripada serius memikirkan filmnya.



Tepat hari Sabtu, harinya pengumpulan dan pemutaran film di balai kota Foligno. Aku dan Viktor gugup menunggu hasil pengumuman kompetisi mingguan CinemadaMare. Tapi semua teman meyakinkan kami bahwa mayoritas voting positif memilih film pendek ini.


Kurang lebih pukul 1 pagi, para staff maju ke depan dan mengumumkan para pemenang. Ternyata, tepat seperti harapan. Pink Jungle memenangkan hati semua penonton dan keluar sebagai best film of the week. Viktor maju ke depan dan menarikku ikut, memelukku bahagia dan tertawa girang. Kita lanjut teriak kegirangan dan memeluk Cecile, Josip, Riccardo dan berbagai teman lain yang turut mendukung produksi film pendek ini. Sayang, hari itu Nikol dan Zahari sudah pulang ke negaranya.



Lucu rasanya mengingat kembali hari pertama di Foligno, ketika Viktor, Nikol dan Zahari mengundangku masuk dalam tim kecil mereka. Ketiga teman ini datang dari Bulgaria, Viktor sebagai sutradara, Nikol DOP dan Zahari sebagai soundman. Mereka bertiga mengenalku sebagai editor, tapi mengajakku turut menjadi aktor.


Saat mereka menunjukkan film Mystery Train (1989) dengan adegan sepasang Jepang dalam kereta, Viktor memberitahuku sambil tertawa, "Nggak, gue nggak milih lo jadi aktor karena muka lo Jepang. Nggak loh, serius." dan tentunya ia berbohong. Dan ketika ia bilang perannya gampang, itu juga bohong.


***


Minggu itu di Foligno, aku mengiyakan 3 film untuk kukerjakan. Dua film membutuhkanku sebagai aktor, dan 1 lagi editor. Yang tidak kusangka, jadwalnya hampir bertabrakan. Setiap jam 5 sore hingga 3 pagi aku syuting bersama Viktor, dan jam 5 pagi hingga 2 siang aku syuting bersama tim Tea. Sehingga pada hari ke-4, aku tewas dijemput ambulans.


Aku ingat waktu itu di sudut selokan setelah syuting, aku jongkok menyendiri.


"Cil, lo nggak apa-apa?" tanya Zahari dan Viktor yang mulai khawatir. Tapi aku tidak sanggup menjawab banyak. Hari itu aku belum tidur, tidak sempat makan yang cukup, dan terlalu banyak menghisap Surya 16. Bisa kamu bayangkan betapa bodohnya dan beratnya hari itu.


"Dia terlalu banyak merokok. Rokoknya gila," kata Josip menjelaskan.

Akhirnya Nikol menelepon ambulans, sementara aku terpojok di selokan, masih berusaha memuntahkan entah apa yang ada di lambung.


"Ambulansnya udah dateng!"

"Cil, ini gue nggak tau teh apaan, tapi gue bilang temen gue sakit dia butuh teh! Coba minum!!!"

"Cil, lo bisa jalan?"

"Cil?!"


Satu persatu teman datang melihatku khawatir, selagi aku melangkahkan kaki masuk ke dalam mobil ambulans. Di sisiku hadir pula staff yang setia membantu, Alessandro Altobello. Dia membantuku menterjemahkan Inggris ke Itali dan sebaliknya.


"Tekanan darahnya baik-baik saja, apakah dia yakin mau ke dokter? Kami rasa dia hanya butuh istirahat dan bersenang-senang." kata salah seorang perawat dalam mobil sambil tertawa terbahak-bahak. Alessandro pun turut tertawa, menasehatikan karena terlalu keras bekerja. Aku merasa bodoh. Tentu saja, aku hanya butuh istirahat dan 1 sachet Tolak Angin. Ngapain aku minta dipanggilkan ambulans?!


Selanjutnya yang kuingat, mobil itu pun melaju pergi dan aku meminta maaf pada seluruh teman dan staff yang jadi repot. Nikol, Zahari dan Viktor tertawa dan memarahiku, "Berhenti meminta maaf! Kita yang harusnya minta maaf bikin lo sakit!!! Ayo sekarang makan, lo mau makan apa?"


Kami semua duduk bersama di sebuah restoran mewah outdoor dengan gelas wine. Aku memesan spaghetti carbonara, dan yang lainnya memesan menu Italia yang asing kudengar. Sambil tertawa terbahak-bahak, datang seorang penjual bunga menghampiri meja kami, menjajakan berbagai mawar dengan harga €2.



"Oke, gue beliin lo bunga," kata Viktor masih sambil terngakak, "Mau warna yang mana?!" Anak-anak ikut ngakak dan tepuk tangan riuh.

"Besok lo istirahat! Nggak usah syuting!" ujar Viktor seraya menyerahkanku setangkai mawar pink.


"Nggak, kasihtau gue tinggal berapa scene! Gue mau semua ini tuntas. Lo juga, Tea, besok jam 6 pagi lagi?"


Tea tersenyum dan menyentil jidatku, "Gue atur lo syuting siang, biar lo bisa istirahat dulu."

"Kita tinggal 1 scene kok! Jam 12 malam lagi, jadi lo bisa istirahat dulu," tambah Zahari.


Oke, malam itu kami berjalan kaki kembali ke gym, tempat tinggal sementara kami yang jaraknya kurang lebih 2 km dari pusat kota dan lokasi syuting. Tentu saja aku berjalan sangat lambat, dan setibanya segera mencari Tolak Angin, berharap kepala ini berhenti berputar.


"Gue mau bilang, gue bener-bener minta maaf bikin lo sakit. Jadi besok, lo syuting siang kan sama Tea?" tanya Viktor yang rupanya benar-benar merasa bersalah. Sialnya, sesaat sebelum pertanyaan itu, Tea mengubah jadwalku kembali ke jam 7 pagi.


"Jadi lo mesti bangun pagi lagi?! Sialan si Tea, gue kan udah bilang ke dia kalau dia nggak boleh bangunin lo pagi-pagi! Dan lo! Lo pasti iya-iya aja! Lo tuh kalau nggak bisa bilang, 'Nggak bisa!'" Viktor terlihat marah, "Sekarang lo pilih, lo suruh Tea atur ulang jadwalnya, atau gue kirim pesan mati ke Tea."


"Hah?!"

"Gue serius, gue akan kirim surat mati ke dia, biar dia sadar!"

"Ah, lo bercanda kan. Udah ah, gue nggak apa-apa. Ini bukan salah Tea."


Viktor pun pergi dengan wajah masam, dan aku nggak paham kenapa ia harus marah (ketika ia juga menjadi salah satu penyebab lelahnya diriku).



Pagi berikutnya berjalan baik, aku selesaikan semua syuting, dan aku sangat menikmati pengalaman baruku menjadi aktor. Ada satu scene di mana aku akan ditangkap oleh polisi, dan menariknya mereka benar-benar polisi setempat.


"Lo bayangin, kalau lo bakal ditangkap polisi, lo bakal ngapain? Gue nggak akan kasihtau ke polisi itu akan apa yang lo lakukan. Pokoknya mereka akan berusaha menangkap lo," ujar Viktor menjelaskan sambil ceikikan mundur ke belakang kamera.

Tentu saja, aku tidak bisa akting sempurna. Sepanjang scene melarikan diri dari polisi itu, aku menahan ngakak luar biasa.

Setelah selesai syuting, aku segera memulai editing 2 film yang harus dikumpulkan Sabtu jam 6 sore. Waktuku tinggal 2 hari. Sebenarnya aku tidak yakin bisa menyelesaikan tepat waktu, tapi Viktor memang benar, aku terlalu pengecut untuk mengatakan, "Nggak bisa."


Dua film yang harus kuedit ini memiliki tingkat kesulitan yang lumayan, yang pastinya nggak bisa diselesaikan hanya dalam 20 jam. Apalagi ada persyaratan setiap film harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Itali. Nyam, makan tuh syarat! PR banget harus bikin subtitle di film 10 menit yang isinya penuh dialog.


Hari terakhir editing, Viktor mengawasiku ke manapun ku pergi, dan ikut melihat bagaimana kelompok yang lain menegurku karena belum juga selesai mengedit film mereka. Ada rasa sakit dan kesal saat mereka memojokkanku, dan tidak sama sekali mencoba mencari solusi bersama. Mungkin mereka pikir, mengedit itu hanya sebuah pekerjaan cemplang-cemplung video ke timeline dan menempel, tanpa perlu memanaskan otak.


Karena gerah dengan orang-orang tersebut, kuserahkan film itu ke mereka dan pindah keluar. Terserah mau mereka jadikan apa, aku sudah lelah memikirkan film yang komposisinya berantakan dan suaranya hancur lebur ini. Kebetulan ada Josip yang akan mengisi musik dalam film Pink Jungle, ia mengajakku dan Viktor merekam suara di gereja, tempat kami syuting sebelumnya. Kami pun setuju.


Siang itu pintu gereja terbuka lebar, kosong, tak ada siapapun dan kami masuk dengan gembira. Josip dan Viktor segera merekam musik langsung dari clarinet. Sementara aku merebahkan diri sebentar di bangku umat, terlelap sekitar 15 menit.


Setelah mereka selesai, aku pun bangun dan melanjutkan editing. Kami duduk di salah satu bangku dengan stop kontak menganggur. Lucu rasanya, sudah lama tidak ke gereja, akhirnya datang juga tapi malah ngerecok.


"Tau nggak, gue baru pertama kali masuk gereja," bisik Viktor sambil membuka-buka buku Puji Syukur berbahasa Itali dan berusaha menyanyikannya asal. Aku tertawa, sambil waswas mengawasi apabila kami akan diusir.

Sebetulnya ada seorang bapak pengurus yang mondar-mandir menyalakan lilin dan mempersiapkan buku di meja. Aku curiga, hari itu akan ada misa berlangsung, tapi karena Viktor terus mengatakan tidak apa, maka kuurungkan niat untuk pindah.


Ternyata benar, tak lama kemudian datang satu-persatu umat, duduk di tengah gereja dan memulai Novena Bunda Maria. Viktor tidak berhenti tertawa sambil menyapa umat yang datang satu persatu, "Ciao ragazzi, ciao ragazza!" dan aku tak kunjung berhenti mengeplaknya karena terlalu berisik.


Seharusnya kami langsung keluar dari gereja, tapi aku terlanjur menekan tombol export yang ternyata membutuhkan waktu 1 jam 15 menit untuk memproses film pendek ini. Jam juga telah menunjukkan pukul 5 sore, aku gugup, aku pasti terlambat. Aku segera mengabari staff untuk meminta perpanjangan waktu. Untungnya diizinkan.


Jam menunjukkan angka 5.30 dan seorang pastor memasuki ruangan. Aku semakin panik. Karena terlanjur exporting, maka aku dan Viktor mau tidak mau ikut menjalani misa, dan ikut menyanyikan lagu yang kami tidak pahami. Kami berdua cekikikan di sisi kiri gereja, sementara beberapa umat memelototi kami kebingungan, mungkin berpikir kenapa ada dua bocah aneh dengan celana pendek dan laptop tersambung ke stop kontak.


Setelah exporting berakhir, aku langsung berberes dan lari keluar. Kami meluapkan seluruh tawa yang telah ditahan sejak siang tadi. Siapa sih orang gila yang mengedit filmnya di gereja saat misa berlangsung? Hari itu benar-benar gila, tapi belum juga berakhir. Setelah lari ke gym dan mengumpulkan film, aku masih merasa bersalah dan ingin membantu tim lain yang tadinya kutinggalkan.


"Kalian butuh kubantu?"

"Ya, ini nih, Cil, subtitle." jawab Harry seraya berdiri meninggalkan entah-laptop-siapa dan seonggok film dengan subtitle berantakan. Harry meloyor pergi dengan riang.


Hmm.. aku tertegun, aku jadi menyesal menawarkan bantuan, tapi ya sudahlah. Bersama Lucrezia dan Serena, mereka membantuku menterjemahkan Inggris ke Italia di sebuah laptop dengan Premiere Pro versi terbaru yang sangat membingungkan bagiku.


Subtitle-nya berantakan. Aku nggak tahu bagaimana cara memindahkannya, dan kubiarkan saja seperti itu karena tidak ada lagi waktu membereskan. Tentu saja aku meminta maaf pada sang sutradara yang sudah pulang ke negaranya. Kujelaskan pada sang sutradara, bahwa filmnya memiliki terlalu banyak masalah, dan pada dasarnya memang bukan film yang bisa diedit dalam waktu 2 hari, apalagi dengan laptopku yang lamban ini. Perlu diingat pula bahwa tugas editor di sini bukan hanya menyusun cerita, tapi juga memperbaiki warna, komposisi, dan suara. Kuharap lebih banyak orang menyadari dan mengerti bahwa editor bukanlah pesulap instant.


Jam menunjukkan pukul 7.30 malam, dan Serena sang staff marah besar padaku, "Ini tidak boleh lagi terjadi! Aku berbohong pada banyak orang demi menyelamatkan filmmu! Kalau Pak Direktur tahu, ia pasti sudah mendiskualifikasi filmmu."


Sementara aku pusing menyelesaikan subtitle, Florin, pengurus kebersihan datang dan memakiku dalam Bahasa Itali yang kurang lebih menanyakan kenapa aku belum juga packing dan memasukkan tas ke bus. Aku adalah orang terakhir yang belum bersiap-siap hari itu. Packing belum, mandi belum, makan juga lagi-lagi terlambat. Sementara orang-orang yang terlibat dalam film itu, hanya bisa ikut memojokkanku karena kurang ini dan itu. Rasanya seperti masuk ke hutan dan tidak tahu jalan keluar.


Dan tentunya kamu tahu, aku ingin sekali menangis sambil membanting laptop di depanku.

Semua film akhirnya selesai dikumpulkan, dan aku berlari membereskan barang-barangku dengan asal. Di situ, Cecile dari Prancis dan Charbl dari Lebanon membantuku merapikan dan menggotongnya ke bus. Aku sangat berterima kasih pada mereka, khususnya pada Viktor yang juga diam-diam menyelipkan piadina di sebelahku. Piadina bentuknya seperti sandwich tapi versi Itali.


"Gue masukin tomat, keju dan pesto. Enak nggak?!" teriaknya sambil menggulung sepuntung rokok di depanku. Aku tak kuasa menahan tawa dan haru. Kesal, sebal, senang dan sedih bercampur jadi satu. Sabtu itu mungkin akan menjadi Sabtu paling menyebalkan tapi ngangenin dalam hari-hariku di CinemadaMare.


"Piadina-nya berantakan." jawabku pada Viktor sambil cekikikan, yang dibalas dengan wajah syok.


"@#$@^%*^&!!! Lo emang ngeselin ya!!! Gue nggak akan nolongin lo lagi!!!"


Viktor pun pergi dan berteriak, "You little piece of shit!" Tapi aku hanya tertawa terbahak-bahak. Hari itu kuketahui pula bahwa Viktor benar-benar mengirimkan surat ke Tea. Melalui pengakuan langsung oleh sang korban, Tea mengatakan bahwa hari itu jam 5 pagi, ia bangun dengan puluhan kertas di atas kasurnya. Tea yang baru bangun tentu tidak fokus membaca, tapi setelah lama ia pahami, kertas-kertas itu ternyata bercerita, meminta Tea untuk lebih memikirkan orang lain saat membuat jadwal, dan ditutup dengan pesan bahwa karma itu nyata.


"Dia benar-benar memikirkan dirimu, Cil," sahut Tea tersenyum.


Oh, manis sekali. Aku tertawa luar biasa, mungkin separuhnya terharu karena ada 1 orang gila yang memikirkan diriku dengan sangat.. aneh! Tapi aku tetap berterima kasih, dan aku akan mencoba untuk lebih baik padanya di minggu-minggu ke depan.


Sejak Sabtu itu pula, aku mulai paham bagaimana CinemadaMare bekerja. Di sini, individualisme dan idealisme dijunjung tinggi. Meskipun awalnya semua orang ramah, tapi tidak semua orang benar-benar menyukaimu, apalagi peduli dengan dirimu. Mungkin memang sebaiknya kutinggalkan sifat naif dan simpati berlebih, khususnya kalau aku tidak ingin.. kembali masuk mobil ambulans.

Comments


Category

Date

Let's connect on my social media!
  • Threads
  • Instagram
  • LinkedIn
  • YouTube
bottom of page