top of page

Aku Nangis Hari Ini

  • Gambar penulis: Caecilia Sherina
    Caecilia Sherina
  • 19 Jan
  • 5 menit membaca

Diperbarui: 4 Apr

Nggak ada angin, nggak ada hujan, tiba-tiba air mataku numpuk di pelupuk mata dan perlahan mengalir, membasahi pipi yang kering karena cuaca di musim dingin. Tapi rasanya juga nggak asing, tiba-tiba menangis sudah jadi ritual bulanan. Pemicunya? Memori lama yang nyelip di kepala, seolah-olah otakku menekan tombol rewind tanpa izin. Memori ketika aku merasa punya segalanya.


Hidupku selama ini seperti menaiki tangga. Pelan-pelan, anak tangga demi anak tangga, meski kadang tergelincir ke bawah. Tapi aku selalu bangkit. Aku naik lagi, menghadapi tantangan semesta yang meliuk-liuk. Dalam perjalanan itu pula, aku selalu berdoa, memohon kebijaksanaan. Kalau memang jalannya bukan untukku, aku siap menerima. Walau pahit, aku telan.


Tapi sekarang, hidupku beda.


Rasanya seperti tangga yang dulu aku jalani buntu. Lalu aku dipaksa dan didorong, dilempar ke sebuah jurang di antah-berantah. Dan satu-satunya cara untuk survive, hanyalah membuat tangga yang baru dengan ilmu dan pengalaman yang pernah aku punya. Nggak ada lagi tangga lama yang sudah aku bangun bertahun-tahun. Semuanya hilang dan yang tertinggal hanyalah hal baru dan asing, dan itu yang kurasakan saat ini.


Pindah ke luar negeri adalah mimpi lama yang terkubur. Aku nggak pernah membayangkan 2024 akan jadi tahunnya. Padahal fokusku waktu itu sederhana: menikah, membangun karier, dan memulai keluarga di Jakarta. Tapi hidup, seperti biasa, punya caranya sendiri buat bercanda.


Segalanya dimulai dari telepon receh dengan seorang tarot reader. Dia bilang mantanku selingkuh. Dan awalnya aku melawan. Aku coba pertahankan hubungan itu, meski rasanya seperti memungut serpihan kaca yang tajam. Tapi semesta lebih keras kepala, rencanaku dipatahkan tanpa aba-aba, hubunganku dan si mantan dibuat kandas di tengah jalan.


Efek domino dari perpisahan kami adalah: semesta juga memaksaku keluar dari rumah yang kupikir akan jadi tempatku memulai keluarga. Aku nggak sanggup bayar sewa rumahnya lagi, karena kalau sebelumnya bisa patungan sama mantan, kali ini aku harus bayar sendiri dan rasanya biaya itu nggak worth it banget untuk aku yang baru saja kehilangan pekerjaan.


Iya, waktu itu, setelah kehilangan pasangan, aku harus resign dari pekerjaan tetapku lantaran aku depresi (meskipun ringan). Tapi aku SAMA SEKALI nggak bisa kerja, bagaimanapun kamu memaksaku untuk semangat menjalani hidup. Pokoknya waktu itu aku nggak bisa. Pekerjaanku memang sedang bagus-bagusnya, tapi tekanannya luar biasa tinggi. Aku nggak bisa kerja di bawah tekanan setinggi itu, di saat kehidupan pribadiku juga sedang dalam guncangan besar: mengetahui calon suami selingkuh itu ternyata benar-benar traumatis.


Meskipun aku sudah pernah membahas hal seperti ini dengan teman-temanku, dan berpikir bahwa, "Ya, kalau selingkuh mah tinggalin aja lah. Nggak bisa dimaafkan." Tapi nyatanya saat kamu mengalami peristiwa itu langsung, otakmu nggak bisa jalan dengan sebegitu lancar dan logisnya. Ada perasaan yang terluka, karena ternyata selama bertahun-tahun kamu dibohongi oleh orang yang kamu percaya sehidup-semati. Dan luka itu besarnya bukan main, mengguncang semua kepercayaanmu akan dia dan hidupmu pribadi. Kamu akan mengalami keraguan tentang dirimu sendiri seperti, "Ternyata gue selama ini bodoh banget ya? Jadi selama ini gue nggak bisa menilai dia dengan baik ya? Kok gue nggak sadar ya?" Dan kamu nggak akan bisa fokus untuk berpikir logis.


Bayangkan, di tengah keadaan yang kacau, kehilangan pekerjaan, dan masa sewa rumah yang habis, aku harus tetap berpikir logis agar bisa bertahan. Aku paksakan diri untuk mencari pekerjaan baru, meski perekonomian saat itu sedang sulit bagi semua orang. Banyak teman yang tanya soal pekerjaan, padahal aku sendiri juga sedang menganggur. Aku coba cari rumah kontrakan di Jakarta yang lebih terjangkau dan bisa bawa hewan peliharaan, tapi nyatanya ya susah. Hampir mission impossible.


Semua terasa jatuh beruntun: pasangan, rumah, pekerjaan. Aku terpaksa ganti semua rencana hidup yang sudah aku bangun dan rangkai dengan matang.


Sehingga ketika kakakku menyarankan untuk kuliah di Jerman, dengan cepat ide itu kuiyakan. Nggak pakai pikir panjang lagi, meski aku nggak pernah tertarik ke Jerman. Karena pada saat itu ya aku nggak bisa berpikir dengan jelas. Tapi secara insting, aku percaya bahwa Jerman akan menjadi satu-satunya pintu keluar dari kekacauan ini.


Bertahan di Jakarta? Rasanya seperti menyiksa diri. Di kehidupan sebelumya aku punya kerjaan keren dengan gaji dua digit, rumah yang proper, dan hidup yang nyaman dengan dua anjing kesayanganku—aku nggak siap turun kelas. Apalagi kembali ke Bali, meski di sana ada kedamaian, tapi langkah itu terasa seperti kemunduran. Sekalipun aku suka banget tinggal di Bali!


Gin
Aku, Gin, dan motor butut kami

Makanya tanpa ba-bi-bu-be-bo, di bulan Desember 2023 aku langsung gas bikin plan baru untuk pindah ke Jerman. Aku jual mimpi lamaku demi mimpi baru yang terpaksa kurancang ulang. Tabunganku habis, mentalku teracak-acak, tapi aku tetap ngotot mencari cara untuk berangkat ke Jerman.


Aku sudah coba juga cari beasiswa ke negara lain, tapi untuk kondisi usia, karir, dan prestasiku yang gitu-gitu aja, nyatanya sulit. Aku juga nggak mau sembarangan beasiswa, kuliah, dan lulus tanpa tahu mau apa. Kalau cuma untuk turun level, sepertinya tinggal di Jakarta saja sudah cukup menyebalkan. Aku nggak mau. Aku maunya pindah ke negara baru utuk peningkatan kualitas hidup yang sudah tidak bisa kudapatkan lagi di Jakarta saat itu.


Dan oleh sebab itu, aku menangis hari ini. Aku merasa hidupku dirampas oleh semesta. Aku kehilangan pasangan, rumah, karir dan anjing yang aku sayang. Aku nggak diberikan pilihan yang seimbang. Dan aku terpaksa harus memilih pergi ke Jerman, demi menyelamatkan segala yang tersisa dalam diriku.


  • Aku dipaksa untuk melepaskan dan hanya menyimpan hal yang benar-benar esensial.

  • Aku dipaksa untuk mengkaji ulang karir yang bisa menjaga kewarasanku.

  • Aku dipaksa untuk kembali merepotkan keluarga, mengandalkan mereka dalam pembiayaanku ke Jerman termasuk merawat kedua anjingku sementara ini sampai aku bisa berdiri lagi dengan kaki sendiri.

  • Aku dipaksa untuk membuang harga diriku ke laut: terima fakta bahwa dalam usiaku yang ke-30, aku nggak becus mengatur hidup, aku gagal memilih pasangan, gagal menata keuangan, dan gagal menjadi perempuan yang berdaya.


Semesta memaksaku untuk terima dengan tutup mata.


Meski pada akhirnya indah, bahwa aku bisa ke Jerman dengan kehidupan yang relatif nyaman, tapi bukan berarti ini mudah. Seperti yang kutulis di awal, setiap bulan, ada kalanya aku menangis. Melihat foto-foto lama, mengingat hidup yang dulu kupikir sempurna, meski penuh pahitnya juga.


Hari ini pula aku membuka kembali foto-foto mantanku, rindu. Aku menyadari bahwa aku sudah tidak begitu marah padanya. Aku sudah lebih lega. Aku sudah mulai bisa mendoakan semoga ia bahagia dengan hidupnya. Nggak ada lagi yang aku inginkan darinya, dan nggak ada lagi yang perlu kuucapkan padanya. Aku sudah mulai bisa membuangnya perlahan-lahan dari ruang di hatiku, meski kadang rindu masih menyelinap.


Entahlah, aku tidak tahu persis bagaimana caranya mendeskripsikan perasaan rindu yang saat ini kurasakan. Aku bukan ingin kembali atau mengulang kehidupanku yang lama. Apalagi balikan dengan mantan, eww. Enggak, bukan itu. Aku hanya secara mental belum siap menerima bahwa hidupku harus berubah drastis dengan cepat. Rasanya kayak baru kemarin aku masih di Pondok Indah. Aku belum siap keluar dari rumah yang aku suka, meninggalkan pekerjaan yang kusuka, meninggalkan anjing yang kusayang, dan tiba-tiba BOOM aku di Jerman dengan segala rutinitas yang benar-benar berbeda.


Dan aku nggak punya pilihan lain yang lebih ataupun sama baiknya. Jadi aku harus, dan ini adalah keputusan yang akan sangat baik untuk masa depanku. Meski aku belum siap secara mental.


Tentu aku tetap bersyukur, bahwa dalam perjalanan ini aku berhasil tumbuh menjadi manusia yang bijak. Iya, semesta menempaku dengan baik. Ternyata segala yang kuminta, dan yang memang ditakdirkan untukku, benar terjadi. Meski caranya di luar nurul dan fikri.

Neu-Ulm
Sunset di Neu-Ulm

Aku rindu hidupku yang lama. Tapi aku juga sadar betul, aku sedang membangun sesuatu yang lebih besar. Aku punya kamar cantik di Jerman, hidup yang layak, dan support system yang luar biasa baik. Jauh lebih baik dari yang aku bayangkan. Kadang aku mikir, "Do I deserve this?"


Jadi jangan salah paham. Aku nggak menyesali keputusanku pindah. Aku hanya... rindu. Karena semuanya terjadi begitu cepat. Semesta melemparku ke jurang tanpa aba-aba dan merampas semua yang kukira milikku. Tapi mungkin ini caranya semesta mengabulkan doaku. Memaksaku tumbuh, merangkak lagi, membangun tangga yang baru.

Comments


Category

Date

Let's connect on my social media!
  • Threads
  • Instagram
  • LinkedIn
  • YouTube
bottom of page