top of page

Akhir dari Tragedi Dharma Putra

  • Gambar penulis: Caecilia Sherina
    Caecilia Sherina
  • 15 Sep 2024
  • 7 menit membaca

Diperbarui: 4 Apr

Persis setahun yang lalu

Ku dijauhkan dari yang tak

ditakdirkan untukku


Yang kuingat saat itu

Yang kulakukan hanya menggerutu

Angkuh


Lebih percaya cara-caraku

Pilih ragukan rencana Sang Maha Penentu


Untungnya bumi masih berputar

Untungnya ku tak pilih menyerah

Untungnya ku bisa rasa

Hal-hal baik yang datangnya belakangan


"Untungnya, Hidup Harus Terus Berjalan"

Bernadya



Lirik lagu di atas benar-benar menggambarkan situasiku saat ini. Sudah hampir setahun berlalu sejak hubungan seriusku kandas. Awalnya berat untuk bersyukur, tapi lama-kelamaan aku sadar juga, bahwa ini adalah jalan yang terbaik.


Flashback sedikit: November 2023 lalu seorang Tarot reader yang kutemukan di Instagram secara random mengatakan bahwa (mantan) calon suamiku sudah selingkuh sejak lama. Sulit dipercaya ya? Tapi ternyata ramalannya benar. Malam itu setelah kubongkar HP si mantan, kutemukan banyak chat senonoh antara mantan dengan seorang perempuan yang tidak kukenal. Ternyata mereka sudah berhubungan selama bertahun-tahun, meski sebatas online.


Awalnya aku nggak bisa menerima kenyataan. Aku marah, tapi juga belum rela berpisah. Gimana ya? Waktu itu rencananya 1 bulan lagi mau lamaran di Plataran, dan 6 bulan kemudian akan menikah di New Zealand. Bagaimana caranya menerima bahwa di usiaku yang ke-30, aku gagal dan rencana hidupku harus kurombak lagi dari awal?


Belum lagi pada waktu bersamaan, aku kehilangan pekerjaan, tempat tinggal, dan tentunya kewarasan. Berbulan-bulan aku menangis, mengurung diri, traumatis. Dan di kala itu pula aku bolak-balik psikolog serta konseling pranikah bersama si mantan, berharap ada yang bisa diperbaiki. Meski nyatanya, tidak ada lagi yang perlu diperjuangkan.


Post ini kutulis untuk menutup chapter hidupku di Jl. Dharma Putrakontrakanku yang lama bersama si mantan. Sebentar lagi aku akan pergi ke Jerman, dan sebelum aku pergi, aku ingin menuliskan hal-hal baik apa saja yang akhirnya bisa kupetik. Semoga sedikit berguna untuk kalian yang membaca atau mengalami hal yang serupa.


Tapi sebelumnya, aku ingin mengucapkan terima kasih pada orang-orang baik yang ada di sekitarku di saat aku jatuh kemarin. Karena tanpa mereka, perjalanan ini akan SANGAT lebih sulit. Aku beruntung ditemani kalian!


  • Ada Anan, yang terbang dari Bali untuk menemani hari-hariku di Jakarta yang hampa.

  • Ada Julius dan Chacha, yang langsung datang menjemputku untuk menginap di Cikarang, sekaligus mencarikanku pekerjaan.

  • Ada Tante Jasthi, yang sigap mencarikanku rumah sementara.

  • Ada keluarga kandungku, yang langsung mengarahkanku untuk pergi ke Jerman.

  • Ada Bhaskara, yang (setelah Anan pulang) setiap malam menelepon untuk mendengarkan kisah yang sama beratus-ratus kali, termasuk suara tangisku dan ketololanku.

  • Terakhir, ada Pak Ed yang tiba-tiba muncul dalam hidupku dan memberikan penutup yang sangat manis dalam chapter ini.


Tentunya masih banyak lagi orang-orang baik yang rajin menyapa, mendengarkanku dan mengajakku jalan agar aku tidak putus asa. Terima kasih banyak ya, benar-benar terima kasih. Now, let's check out my key learnings!


1. Set Your Boundaries

Ini adalah pelajaran terbesar yang aku petik dari pengalaman kemarin. Aku bablas. Tapi aku nggak heran kenapa aku bablas. Pasalnya, aku memang kekurangan contoh ataupun role model yang bisa kutiru perihal boundaries atau batasan. Dan dari kecil, aku kebiasaan dididik untuk memikirkan orang lain (yang sifatnya agak ekstrem), karena katanya kalau aku membela diri = egois. Jadi aku bingung batasannya di mana yang tidak membuatku terlihat egois.


Beberapa batasan penting atau red flag 🚩🚩🚩 yang aku biarkan (dalam arti aku toleransi atau maafin) antara lain:

  1. Membiarkan pasangan memaki aku di depan umum

  2. Membiarkan pasangan tidak menepati janji berkali-kali

  3. Membiarkan pasangan selalu menyelesaikan masalah dengan alasan, "Nggak kepikiran," ataupun, "Nggak tahu."

  4. Membiarkan pasangan pasif dalam segala aspek

  5. Membiarkan pasangan bermain fisik (mendorong, memukul, dll.) baik itu diarahkan pada benda mati maupun pada diriku


Oke, sudah cukup 5 poin di atas saja sudah sangat keterlaluan, dan BODOHNYA aku mengira bahwa itu semua bisa diperbaiki dengan komunikasi. Enggak, beb! Cecil sayang nan lugu ini terlalu tolol untuk paham bahwa orang-orang yang melakukan hal seperti itu seharusnya ditinggalkan saja.


Yup, you read it right!

Tinggalkan.

Putus.

Akhiri hubungan kalian.


Kalau kalian berpikir: tapi dia minta maaf kok, tapi dia janji berubah kok, tapi dia ada sisi baik yang lain kok. Berarti fix kalian nggak punya boundaries (batasan) untuk menghargai diri kalian sendiri.

Seharusnya, saat itu aku bisa berpikir lebih sehat seperti ini:

Kalau gue aja orangnya nggak tegaan, nggak akan sampai hati melukai orang yang gue sayang sampai kayak gitu, maka gue pun pantas mendapatkan pasangan yang juga nggak akan tega menyakiti gue seperti itu, apapun yang terjadi.


Atau kamu bisa juga berpikir:

Gue aja nggak perlu dikasih tau untuk tau bahwa hal-hal di atas itu jahat banget, karena gue peduli sama perasaan dia. Masak orang ini harus komunikasi dulu untuk tahu? Berarti dia nggak peduli dong perasaan gua?


Terutama untuk para wanita yang mengira bahwa, "Yah namanya juga laki-laki," then let me assure you bahwa kebaikan tidak mengenal gender. Orang tuh kalau baik ya baik aja, nggak masalah gendernya apa.


Jadi kalau kamu ketemu pria yang cuek, nggak peduli perasaan kamu, dan tidak mau inisiatif cari solusi untuk menyelesaikan masalah, ya berarti dia jahat. Berarti dia nggak peduli perasaan kamu. Dan itu nggak ada urusan sama gendernya. Karakter seperti itu juga ada di beberapa wanita.


Ungkapan yang lebih tepat adalah mendeskripsikan orang-orang seperti ini sebagai emotionally unavailable (tidak punya kapasitas emosional untuk berperasaan memikirkan orang lain!), ketimbang kita sebut, "Ah, namanya juga cowok!"


2. Be Firm with Your Boundaries

Aku perlu mengulang hal ini kembali karena menentukan boundaries saja nyatanya tidak cukup. Meskipun aku udah tahu batasan toleransi yang bisa aku berikan, kadang aku luluh dan jatuh lagi karena ucapan-ucapan seperti:


"Gini aja kok langsung ajak putus? Katanya segala sesuatu bisa dikomunikasikan?"

Atau, "Aku mukul, soalnya kamu bikin aku marah. Kalau kamu nggak bikin aku marah, aku nggak akan sampai seperti ini. Aku tuh sebenernya masih sayang sama kamu, aku nggak mau putus."


Hati-hati ya, gengs. Ucapan di atas akan membuatmu merasa,


"Iya, juga ya? Apa gue yang lebay ya sampai minta putus perihal gini doang?"

Di sinilah titik di mana kamu harus firm (tegas, yakin, kokoh) dengan pendirianmu terhadap boundaries atau batas toleransi yang bisa kamu berikan. Kalau kamu bilang main fisik itu red flag, yaudah, mundur. Mundur meskipun kamu terlihat seperti orang egois, jahat, nggak bisa diajak komunikasi, bla bla bla.


Abaikan hinaan dia dan...

Mundur!


Ingat, bahwa orang yang beneran sayang nggak mungkin melukaimu sampai melewati batas toleransimu. Ngapain pacaran sama orang yang tega ngelukain kamu?


Dan aku paham, pasti sulit berpikir rasional di saat kejadian itu sedang berlangsung. Aku paham bahwa akan ada pemikiran-pemikiran seperti, "Tapi aku masih sayang sama dia. Tapi cuma dia yang ngertiin aku," dan seterusnya.


Tapi aku di sini untuk kembali mengingatkan bahwa, apa sih serunya hidup sama orang yang katanya "ngerti" kamu banget, tapi nggak bisa menjaga perasaanmu dengan menghargai batas toleransi kamu?


Kalau dia ngerti dan nyambung banget, ya red flag 🚩🚩🚩 ini nggak akan terjadi.


Mundurlah, sekalipun mundur pun melukai keinginanmu untuk hidup bersama dengannya. Kamu berhak bahagia bersama orang-orang baik sebagaimana kamu pun baik dengan orang sekitarmu.


"Emangnya ada orang lain di luar sana yang bakal baik sama aku?"

Jawabannya ADA, kalau kamu sudah bisa set your boundaries and be firm with it.


Maksudnya gimana? Maksudnya adalah: kalau kamu ketemu orang-orang jahat lagi ya skip dari awal. Jangan terlalu banyak investasi waktu sama orang yang salah.


Tahu salah-nya dari mana? Dari boundaries yang sudah kamu tentukan. Kalau kamu nggak punya boundaries, ya kayak pengalaman aku tadi, segalanya aku terabas dan bablas. Aku membiarkan hubungan putus-nyambung hanya dengan sebuah kalimat cliché, "Aku janji bakal berubah, maafin aku ya."


Saat itu, aku nggak paham bahwa aku nggak butuh dia berubah setelah semua yang telah terjadi.


Aku butuh orang yang memang sedari awal sudah sevisi mengenai cara memperlakukan pasangan dengan baik. Hal-hal seperti ini bukanlah tanggung jawabku untuk mengajarinya. Percayalah, kalau orang udah bucin, pasti dia upayakan sendiri tanpa disuruh. Nggak mungkin sampai harus kejadian dulu lalu baru belajar.


Artinya, kalau sampai pasangan kita tega melukai hati kita dengan selingkuh, memukul, berbohong, atau apapun itu, ya berarti dia nggak bucin, alias nggak cinta-cinta amat sampai mau berkorban-belajar-sendiri menjaga perasaan kita.


Dan kini aku percaya, orang-orang seperti itu bukanlah orang yang kita butuhkan sebagai pasangan hidup.


3. Ibunya saja Gagal, Apalagi Aku

Poin terakhir yang aku petik, dan yang aku yakin sudah sering kita dengar adalah: kita nggak bisa mengubah orang lain. Jika ibunya saja tidak bisa, apalagi aku yang bukan siapa-siapa (dan jika hanya ibunya yang bisa juga tetap red flag 🚩 ya, gengs).


Jika kita sampai harus mengubah seseorang untuk menjadi cocok dengan kita, sebaiknya akhiri saja hubungan itu dan cari orang lain yang memang sudah cocok sejak awal dengan kita. Kecocokan itu nggak cuma sekadar seru diajak ngobrol ya, tapi juga cara hidup, prinsip hidup, cara memandang persoalan, dan cara-cara lainnya.


Sialnya, I was a strong believer that everything can be talked out through words. Mirip-mirip Viktor dari The Umbrella Academy yang selalu kasih solusi, "Aku bisa ajak dia bicara!"


Karena faktanya ENGGAK. Enggak semua hal bisa diselesaikan hanya dengan komunikasi, karena enggak semua orang bisa dan MAU diajak berkomunikasi. Nyatanya, banyak orang enggak mau mendengarkan pendapatmu dan nggak peduli dengan apapun yang kamu rasakan. Meskipun di mulut dia bilang dia peduli.


Jadi satu red flag 🚩 yang aku abaikan di hubunganku kemarin adalah, ketika ibunya sendiri sudah memperingatkanku bahwa anaknya ini harus di-emongin, atau dengan kata lain diurusin seperti anak bayi. Mulai dari diingatkan mandi, sikat gigi, belajar, dll.


Waktu pertama kali aku dengar, aku cuma ketawa. Kirain gitu doang. Kukira orang akan dewasa pada waktunya kalau cuma persoalan mandi, sikat gigi, dll. Tapi ternyata aku salah. Itu adalah pertanda bahwa anak ini (1) nggak punya aturan hidup, (2) nggak merasa punya tanggung jawab, dan (3) kebiasaan dimanjain, sehingga bisa bersikap seenaknya.


Masak udah usia 32 tahun masih nggak bisa ingat kapan makan, kapan mandi, kapan sikat gigi? Bagaimana nanti kalau berkeluarga denganku dan punya anak? Siapa yang bisa kuandalkan untuk membantuku mengatur anak-anak kicik mandi dan sikat gigi, kalau bapaknya saja masih harus kuatur juga? (Tentu saja ini hanya perumpamaan sederhana, pada faktanya yang terjadi jauh lebih besar dari sekadar mandi dan sikat gigi. Intinya, waspadalah dengan orang yang belum bisa mengurus dirinya sendiri. Kalau dengan diri sendiri saja belum beres, jangan harap bisa mengurus orang lain.)


🔶🔶🔶


Itu dia 3 hal penting yang aku petik. Tentu masih ada sejuta hal lain lagi, tapi mungkin tidak perlu diceritakan di sini. Yang pasti, aku sudah happy sekarang. Lega bisa melewati perjalanan konyolku bersama si mantan yang sukses memporak-porandakan hidupku.


SYUKUR PADA ALLAH AKU NGGAK JADI NIKAH SAMA DIA.

Syukur pada Allah, mataku dibukakan.

Dan seperti lirik lagu Bernadya yang tadi kita baca di awal:


Untungnya bumi masih berputar

Untungnya ku tak pilih menyerah

Untungnya ku bisa rasa

Hal-hal baik yang datangnya belakangan



Boundaries itu akhirnya membawaku pada orang-orang baik yang bisa berkomunikasi serta menghargai pemikiran, sikap, dan semua keanehanku tanpa prasangka, tanpa gaslighting, dan tanpa konflik yang tidak penting.


Ternyata aku lebih bahagia tanpamu.

Commentaires


Category

Date

Let's connect on my social media!
  • Threads
  • Instagram
  • LinkedIn
  • YouTube
bottom of page